Rabu, 21 Mei 2014

Take Shelter

Jika tidak salah ingat, semasa kecil dulu saya pernah mendengar semacam dongeng(?) yang menceritakan tentang seorang laki-laki yang selalu meneriakkan bahwa akan datang sebuah badai besar yang akan menghancurkan seisi desa. Sayangnya, tidak ada satupun penduduk desa yang mempercayai perkataan laki-laki tersebut. Hingga akhirnya badai besar itu benar-benar datang dan benar-benar menghancurkan desa tersebut dan semua orang mati kecuali laki-laki tersebut yang berhasil berlindung di ruang bawah tanah yang dibuatnya di belakang rumahnya. Saat menonton sepertiga awal Take Shelter, dongeng itulah yang muncul pertama kali dalam pikiran saya. Dan saya dengan gegabahnya menganggap bahwa film ini hanyalah sekedar interpretasi bebas dari dongeng tersebut, tentang seorang laki-laki yang percaya bahwa badai besar akan datang namun tak seorangpun yang mempercayai apa yang dipercaya oleh laki-laki tersebut. Ternyata saya salah. Take Shelter ternyata lebih dari sekedar apa yang saya pikirkan pada awalnya.
Tokoh utama dalam Take Shelter adalah seorang pria bernama Curtis. Curtis memiliki seorang istri dan seorang anak perempuan. Sepintas, Curtis tidak ada bedanya dengan pria kebanyakan. Dia bekerja untuk keluarga kecilnya dan sangat mencintai istri serta anak satu-satunya. Namun di balik semua itu, Curtis ternyata memendam suatu masalah yang cukup pelik. Curtis sering mengalami mimpi buruk dimana dia melihat datangnya badai besar, badai yang aneh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Semacam pertanda. Atau 'wahyu'. Dan mimpi buruk Curtis mulai mempengaruhi kestabilan mentalnya, kehidupan pribadinya, kehidupan sosialnya, serta berpotensi mengancam keutuhan rumah tangganya. Seiring dengan berjalannya cerita, mimpi buruk Curtis mulai mengalami semacam 'modifikasi'. Perilaku Curtis juga mulai berubah. Menyadari masalah yang dihadapinya, Curtis berusaha untuk menemukan solusi terbaik. Dia mencari berbagai informasi mengenai gangguan mental serta berkonsultasi ke psikiater. Di sisi lain, Curtis masih mempercayai mimpinya. Dia mulai membangun bunker sebagai tempat perlindungan bagi keluarganya dari badai besar yang dilihatnya di dalam mimpi buruknya. Apakah badai besar itu benar-benar akan datang? Mampukah Curtis mengatasi masalah yang dihadapinya dan menyelamatkan keluarga kecilnya? Lebih jauh lagi, mampukah Curtis 'menyelamatkan' diri dari dirinya sendiri?
Take Shelter mengupas tentang rasa takut. Fokus utama film ini sesungguhnya bukanlah mengenai badai besar yang ditakuti oleh Curtis melainkan rasa takut itu sendiri. Bagaimana rasa takut itu bisa mengubah kehidupan seseorang dan juga kehidupan orang-orang di sekitar seseorang tersebut. Tempo film sangat lambat dan dibangun dengan seksama. Butuh kesabaran ekstra untuk benar-benar bisa 'menikmati' film ini. Meski demikian, saya rasa tempo lambat ini cukup berhasil dalam memperkuat intensitas cerita. Akting sangat layak mendapat pujian, terutama untuk karakter Curtis dan istrinya. Dari segi artistik, sinematografi film ini cukup memukau untuk ukuran film dengan budget relatif terbatas. Demikian juga dengan pemilihan musik latar yang sanggup membangun atmosfir kelam mencekam di beberapa bagian. Take Shelter saya rekomendasikan untuk kalian yang menyukai film dengan karakter yang kuat serta pengembangan cerita yang digarap secara matang. Sekali lagi, film ini memiliki tempo yang sangat lambat dan berpotensi membosankan. Namun demikian, saya pribadi menyatakan bahwa film ini sangat sangat sangat sayang untuk dilewatkan. Pilihan ada di tangan kalian. Saya mau bikin kopi dulu. Sementara itu, kalian bisa mendapatkan film ini di sini.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar