Senin, 12 Mei 2014

Caramel

Hingga saat ini, saya belum terlalu banyak menonton film Libanon. Beruntunglah saya bisa berkesempatan untuk menonton film ini sekitar empat atau lima tahun yang lalu, saya lupa tepatnya kapan. Namun saya masih ingat bagaimana film ini berhasil meninggalkan kesan yang mendalam, bagaimana sehabis menonton film ini saya terdiam cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk memacu motor ke warung nasi padang terdekat.
Persahabatan enam orang perempuan Libanon digarap secara apik dalam Caramel. Premis yang sepintas terlihat cukup sederhana dan berpotensi terjebak dalam klise yang membosankan. Tapi tunggu dulu, wahai qi sanaque. Di tangan Nadine Labaki, tema yang sederhana ini bisa dipoles menjadi sebuah tontonan yang sangat memikat dan layak untuk dinikmati, tidak hanya oleh kaum perempuan, namun juga oleh kaum laki-laki.
Tokoh utama di Caramel adalah seorang perempuan bernama Layale, yang juga diperankan dengan sangat manis oleh sang sutradara. Layale bekerja di sebuah salon kecantikan bersama tiga orang sahabatnya, Nisrine, Jamale, dan Rima. Lalu ada pula Rose dan Lili. Film ini mengangkat keseharian enam orang perempuan tersebut beserta seluruh problematika yang mereka hadapi masing-masing. Sebagian besar latar cerita mengambil lokasi salon kecantikan tempat mereka bekerja. Masing-masing karakter memiliki karakteristik serta 'permasalahan' yang berbeda-beda yang menjadi 'perekat' hubungan antara keenam perempuan tersebut. Caramel berkutat seputar percintaan, pernikahan, dan identitas diri sebagai seorang perempuan yang diolah dengan pendekatan yang cukup kompleks namun masih cukup nyaman untuk diikuti. 
Secara teknis, Caramel dikemas dalam tampilan visual yang sederhana namun kaya rasa. Komposisi gambar, pemilihan warna, serta pencahayaan saya nilai cukup berhasil menggambarkan nuansa cerita secara keseluruhan. Nyawa film juga didukung dengan ilustrasi musik yang menarik. Akting cukup layak diapresiasi, terutama untuk karakter dengan 'permasalahan' yang cukup 'unik'. Dialog ditampilkan secara natural, tidak terkesan terlalu didramatisir, namun justru mampu memberikan makna yang jauh lebih kuat.
Pemilihan kata karamel sebagai judul juga saya anggap sebagai suatu keputusan yang cukup brilian. Di film ini, karamel digunakan sebagai bahan untuk melakukan waxing. Karamel itu manis, namun bila dipanaskan terlalu lama bisa menjadi pahit. Karamel bisa digunakan sebagai perekat dan akan mengeras bila dibiarkan terlalu lama. Sesuatu yang sangat tepat untuk digunakan dalam menggambarkan premis film secara keseluruhan. Caramel adalah film yang seksi tanpa harus (terlalu) mengorbankan diri menjadi sebuah komoditi. Sekitar empat hari sehabis menonton film ini, seorang teman pernah bertanya kepada saya tentang pendapat saya mengenai film ini. Waktu itu saya memberikan jawaban seperti ini, "Caramel adalah jawaban sineas Libanon atas 'dangkal'nya Sex and the City."
Kalian bisa mendapatkan film ini di sini.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar