Selasa, 27 Mei 2014

You're Next

Saya mulai (agak) mengurangi menonton film horror/thriller/slasher/gore semenjak franchise Saw mulai agak mengalami semacam disorientasi. Padahal, dulu saya cukup menyukai sub-genre horror yang satu ini. Meski demikian, pasca Saw XIV yang 'nggak jelas banget maunya apa' itu, saya masih berkesempatan menonton beberapa film horror/slasher/gore/whatever yang cukup layak diapresiasi, tidak hanya sekedar mengumbar berliter-liter darah artifisial dan luka-luka yang menganga (meskipun sesungguhnya justru elemen-elemen inilah yang dicari pada film-film bergenre demikian). A Serbian Film contohnya. Kemudian muncul juga sebuah sub-genre 'baru' yang dikenal dengan nama Mumblegore, sub-genre yang digadang-gadang mampu mengembalikan thriller/gore/slasher ke fitrahnya. You're Next adalah salah satu film yang mendapat kehormatan untuk menyandang predikat sub-genre 'baru' ini.
Secara garis besar, plot You're Next sesungguhnya tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar baru. Meski demikian, saya cukup bersyukur karena film ini bukanlah film bertema found-footage yang tampaknya jadi semakin hambar akhir-akhir ini. Diceritaken dalam You're Next, sebuah keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri dan empat orang anaknya (yang sudah dewasa) merencanakan untuk menghabiskan malam bersama di sebuah rumah peristirahatan yang terletak di daerah yang cukup terpencil dalam rangka merayakan ulang tahun pernikahan pasangan tersebut. Keempat orang anak itu membawa pasangan mereka masing-masing sehingga total ada 10 orang yang berada di rumah peristirahatan tersebut. Ketegangan dimulai saat acara makan malam, dimana terjadi suatu insiden penyerangan yang mengubah suasana menjadi cukup mencekam. Merasa keselamatan mereka terancam, penghuni rumah peristirahatan tersebut mulai memikirkan bagaimana caranya untuk meminta pertolongan ke luar atau bahkan untuk sekadar bertahan hidup. Tentu saja tidak semudah yang dibayangkan. Belum lagi ditambah beberapa kejutan yang muncul kemudian.    
Sebagai film bertema survival horror, You're Next sudah memenuhi beberapa standar dasar film horror dengan tema ini, set terbatas, karakter berjumlah lebih dari dua atau tiga orang yang harus bertahan hidup, musuh yang tak diduga, serta kebangkitan salah satu tokoh utama sebagai 'juru selamat'. Motif yang mendasari plot juga cukup dapat diterima, meski sebenarnya cukup terasa klise, namun bisa diolah dengan baik. Intensitas cerita dapat terjaga sempurna dari awal hingga akhir film. Pengembangan plot cukup mulus tanpa terkesan terlalu dipaksakan. Tentu saja masih ada beberapa celah yang mungkin sedikit mengganggu, namun bukan menjadi suatu masalah besar. Cerita masih tetap bisa dinikmati tanpa perlu merasa (terlalu) dibodohi.  
Dari sisi teknis, You're Next tidak jauh banyak berbeda dengan film-film horror generasi baru yang cukup populer akhir-akhir ini. Pemilihan warna, pergerakan kamera, serta komposisi gambar, kesemuanya mengamini pakem-pakem yang berkembang di genre horror belakangan ini. Begitu juga pemilihan ilutrasi musik yang saya nilai cukup brilian. Ya, salah satu kekuatan You're Next adalah ilustrasi musiknya yang mengacu ke gaya ilustrasi musik horror era 70an dan 80an.
Pada akhirnya, You're Next menjadi salah satu film thriller mencekam yang cukup layak untuk dinikmati. Semacam Home Alone untuk penonton dewasa yang 'haus darah'. Menyenangkan. Jika kalian sempat menyukai The Strangers, I Spit on Your Grave, atau bahkan Scream yang fenomenal itu, You're Next cukup pantas untuk kalian tonton. Silahkan dapatkan filmnya di sini.  

Rabu, 21 Mei 2014

Take Shelter

Jika tidak salah ingat, semasa kecil dulu saya pernah mendengar semacam dongeng(?) yang menceritakan tentang seorang laki-laki yang selalu meneriakkan bahwa akan datang sebuah badai besar yang akan menghancurkan seisi desa. Sayangnya, tidak ada satupun penduduk desa yang mempercayai perkataan laki-laki tersebut. Hingga akhirnya badai besar itu benar-benar datang dan benar-benar menghancurkan desa tersebut dan semua orang mati kecuali laki-laki tersebut yang berhasil berlindung di ruang bawah tanah yang dibuatnya di belakang rumahnya. Saat menonton sepertiga awal Take Shelter, dongeng itulah yang muncul pertama kali dalam pikiran saya. Dan saya dengan gegabahnya menganggap bahwa film ini hanyalah sekedar interpretasi bebas dari dongeng tersebut, tentang seorang laki-laki yang percaya bahwa badai besar akan datang namun tak seorangpun yang mempercayai apa yang dipercaya oleh laki-laki tersebut. Ternyata saya salah. Take Shelter ternyata lebih dari sekedar apa yang saya pikirkan pada awalnya.
Tokoh utama dalam Take Shelter adalah seorang pria bernama Curtis. Curtis memiliki seorang istri dan seorang anak perempuan. Sepintas, Curtis tidak ada bedanya dengan pria kebanyakan. Dia bekerja untuk keluarga kecilnya dan sangat mencintai istri serta anak satu-satunya. Namun di balik semua itu, Curtis ternyata memendam suatu masalah yang cukup pelik. Curtis sering mengalami mimpi buruk dimana dia melihat datangnya badai besar, badai yang aneh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Semacam pertanda. Atau 'wahyu'. Dan mimpi buruk Curtis mulai mempengaruhi kestabilan mentalnya, kehidupan pribadinya, kehidupan sosialnya, serta berpotensi mengancam keutuhan rumah tangganya. Seiring dengan berjalannya cerita, mimpi buruk Curtis mulai mengalami semacam 'modifikasi'. Perilaku Curtis juga mulai berubah. Menyadari masalah yang dihadapinya, Curtis berusaha untuk menemukan solusi terbaik. Dia mencari berbagai informasi mengenai gangguan mental serta berkonsultasi ke psikiater. Di sisi lain, Curtis masih mempercayai mimpinya. Dia mulai membangun bunker sebagai tempat perlindungan bagi keluarganya dari badai besar yang dilihatnya di dalam mimpi buruknya. Apakah badai besar itu benar-benar akan datang? Mampukah Curtis mengatasi masalah yang dihadapinya dan menyelamatkan keluarga kecilnya? Lebih jauh lagi, mampukah Curtis 'menyelamatkan' diri dari dirinya sendiri?
Take Shelter mengupas tentang rasa takut. Fokus utama film ini sesungguhnya bukanlah mengenai badai besar yang ditakuti oleh Curtis melainkan rasa takut itu sendiri. Bagaimana rasa takut itu bisa mengubah kehidupan seseorang dan juga kehidupan orang-orang di sekitar seseorang tersebut. Tempo film sangat lambat dan dibangun dengan seksama. Butuh kesabaran ekstra untuk benar-benar bisa 'menikmati' film ini. Meski demikian, saya rasa tempo lambat ini cukup berhasil dalam memperkuat intensitas cerita. Akting sangat layak mendapat pujian, terutama untuk karakter Curtis dan istrinya. Dari segi artistik, sinematografi film ini cukup memukau untuk ukuran film dengan budget relatif terbatas. Demikian juga dengan pemilihan musik latar yang sanggup membangun atmosfir kelam mencekam di beberapa bagian. Take Shelter saya rekomendasikan untuk kalian yang menyukai film dengan karakter yang kuat serta pengembangan cerita yang digarap secara matang. Sekali lagi, film ini memiliki tempo yang sangat lambat dan berpotensi membosankan. Namun demikian, saya pribadi menyatakan bahwa film ini sangat sangat sangat sayang untuk dilewatkan. Pilihan ada di tangan kalian. Saya mau bikin kopi dulu. Sementara itu, kalian bisa mendapatkan film ini di sini.       

Kamis, 15 Mei 2014

Fuck

Dokumenter. Di satu sisi, genre ini bisa jadi sangat serius, penuh tendensi, serta mengangkat isu 'berat' yang 'meresahkan' masyarakat. Pemanasan global, krisis bahan bakar, masalah sampah, serta pembantaian lumba-lumba, adalah beberapa contoh tema dokumenter dengan konten serta pembahasan yang cukup membuat depresi. Di sisi lain, dokumenter bisa tampil dengan kesan 'main-main' yang cukup kental, meski pokok bahasan tetap saja merupakan sesuatu yang (mungkin saja) serius. Dokumenter berjudul Fuck ini masuk ke dalam kategori kedua tersebut.
Fuck. Dokumenter ini merupakan salah satu dokumenter favorit saya sejauh ini. Saya pernah melihat/membaca bahwa kata ini merupakan kata yang istimewa dalam Bahasa Inggris. Kata 'fuck' bisa digunakan untuk menggambarkan berbagai ekspresi mulai dari rasa sakit, amarah, rasa senang, bahkan hingga kesedihan. Kata 'fuck' juga bisa menyandang berbagai fungsi dalam kalimat mulai dari kata kerja, kata benda, kata seru, kata keterangan, bahkan hingga kata sambung. Lalu sebenarnya seberapa besar peranan kata ini dalam membangun (so-called) kebudayaan modern? Apa yang membuat kata 'fuck' menjadi begitu dicintai sekaligus dibenci? Mengapa beberapa orang bisa begitu sering menggunakan kata ini sementara beberapa lainnya justru mati-matian menghindari penggunaan kata ini? Semuanya diangkat dalam film dokumenter yang 'jujur' ini. Sebuah dokumenter yang membahas mengenai segala 'mitos' serta 'kontroversi' seputar asal-usul kata 'fuck', penggunaannya, serta dampaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Ada banyak tokoh 'besar' serta orang-orang dari berbagai bidang profesi yang diwawancarai seputar kata 'fuck' di dokumenter ini. Beberapa memberikan respon yang cukup serius, sementara beberapa lainnya memberikan respon yang mungkin bisa membuat kalian tertawa. Sejauh ini, Fuck mungkin tetap menjadi satu-satunya dokumenter yang benar-benar mengupas kata ini secara menarik, tidak membosankan, namun tetap informatif, walau sebenarnya masih banyak yang bisa lebih dieksplor lagi.
Terlepas dari isinya yang memang sangat menggugah selera, Fuck juga dikemas secara apik baik dari segi visual, editing, maupun audio. Dokumenter yang mungkin bisa mengubah persepsi sebagian orang yang menganggap genre ini sebagai genre yang membosankan, penuh data statistik, dan istilah-istilah keilmuan yang kurang 'merakyat'. Kalian bisa mendapatkan film ini di sini.       

Senin, 12 Mei 2014

Caramel

Hingga saat ini, saya belum terlalu banyak menonton film Libanon. Beruntunglah saya bisa berkesempatan untuk menonton film ini sekitar empat atau lima tahun yang lalu, saya lupa tepatnya kapan. Namun saya masih ingat bagaimana film ini berhasil meninggalkan kesan yang mendalam, bagaimana sehabis menonton film ini saya terdiam cukup lama sebelum akhirnya memutuskan untuk memacu motor ke warung nasi padang terdekat.
Persahabatan enam orang perempuan Libanon digarap secara apik dalam Caramel. Premis yang sepintas terlihat cukup sederhana dan berpotensi terjebak dalam klise yang membosankan. Tapi tunggu dulu, wahai qi sanaque. Di tangan Nadine Labaki, tema yang sederhana ini bisa dipoles menjadi sebuah tontonan yang sangat memikat dan layak untuk dinikmati, tidak hanya oleh kaum perempuan, namun juga oleh kaum laki-laki.
Tokoh utama di Caramel adalah seorang perempuan bernama Layale, yang juga diperankan dengan sangat manis oleh sang sutradara. Layale bekerja di sebuah salon kecantikan bersama tiga orang sahabatnya, Nisrine, Jamale, dan Rima. Lalu ada pula Rose dan Lili. Film ini mengangkat keseharian enam orang perempuan tersebut beserta seluruh problematika yang mereka hadapi masing-masing. Sebagian besar latar cerita mengambil lokasi salon kecantikan tempat mereka bekerja. Masing-masing karakter memiliki karakteristik serta 'permasalahan' yang berbeda-beda yang menjadi 'perekat' hubungan antara keenam perempuan tersebut. Caramel berkutat seputar percintaan, pernikahan, dan identitas diri sebagai seorang perempuan yang diolah dengan pendekatan yang cukup kompleks namun masih cukup nyaman untuk diikuti. 
Secara teknis, Caramel dikemas dalam tampilan visual yang sederhana namun kaya rasa. Komposisi gambar, pemilihan warna, serta pencahayaan saya nilai cukup berhasil menggambarkan nuansa cerita secara keseluruhan. Nyawa film juga didukung dengan ilustrasi musik yang menarik. Akting cukup layak diapresiasi, terutama untuk karakter dengan 'permasalahan' yang cukup 'unik'. Dialog ditampilkan secara natural, tidak terkesan terlalu didramatisir, namun justru mampu memberikan makna yang jauh lebih kuat.
Pemilihan kata karamel sebagai judul juga saya anggap sebagai suatu keputusan yang cukup brilian. Di film ini, karamel digunakan sebagai bahan untuk melakukan waxing. Karamel itu manis, namun bila dipanaskan terlalu lama bisa menjadi pahit. Karamel bisa digunakan sebagai perekat dan akan mengeras bila dibiarkan terlalu lama. Sesuatu yang sangat tepat untuk digunakan dalam menggambarkan premis film secara keseluruhan. Caramel adalah film yang seksi tanpa harus (terlalu) mengorbankan diri menjadi sebuah komoditi. Sekitar empat hari sehabis menonton film ini, seorang teman pernah bertanya kepada saya tentang pendapat saya mengenai film ini. Waktu itu saya memberikan jawaban seperti ini, "Caramel adalah jawaban sineas Libanon atas 'dangkal'nya Sex and the City."
Kalian bisa mendapatkan film ini di sini.     

Minggu, 11 Mei 2014

The World's Fastest Indian

"Anda punya mimpi?"
Tenang. Jangan khawatir. Saya tidak akan menulis tentang bagaimana bisnis MLM telah membantu saya meraih impian saya. Alih-alih membahas tentang proses menggapai impian ala bisnis MLM, saya lebih tertarik membicarakan tentang perjuangan seorang kakek tua yang mencoba untuk mewujudkan impiannya menjadi manusia tercepat di daratan. Tema inilah yang diangkat ke dalam The World's fastest Indian, sebuah biopic sederhana tentang pribadi sederhana yang mencoba meraih impian yang tidak sederhana. Burt Munro nama kakek tua itu. Dia tinggal di sebuah gubuk bersama motor tuanya, si Indian keluaran 1920. Di kotak berukuran kecil itulah Burt tidur, makan, dan memoles si Indian. Tentu saja seadanya karena penghasilan Burt hanyalah uang tunjangan dari pemerintah. Untunglah Burt bisa membuat onderdil motor sendiri dengan cara melebur onderdil bekas lalu membentuknya menjadi onderdil baru. Burt dianggap sebagai seorang kakek tua yang eksentrik (dan agak sedikit menyebalkan) oleh sebagian besar tetangganya, para penduduk kota kecil bernama Invercargill yang terletak di Selandia Baru. Kebanyakan dari mereka tidak memahami jalan pikiran Burt dan tidak terlalu perduli dengan apa yang dilakukan oleh kakek tua itu. Hanya ada satu orang yang dekat dengan Burt. Seorang anak laki-laki bernama Tom. Hanya Tom yang bisa memahami dan merasa tertarik dengan impian Burt, untuk menjadi yang tercepat saat menunggangi si Indian di Bonneville Salt Flats, Utah. Singkat kata, Burt membulatkan tekadnya untuk berangkat ke Utah dan menggadaikan gubuknya untuk mendapatkan biaya perjalanan. Dimulailah petualangan Burt dari Invercargill menuju Bonneville. Sepanjang perjalanan, Burt bertemu banyak karakter yang rata-rata dibuat heran bercampur kagum dengan kesederhanaan (baik perbuatan maupun cara berpikir) kakek tua itu.  Burt juga harus berurusan dengan penyakit jantung yang dideritanya sejak lama.
Kesan sederhana benar-benar ditampilkan baik lewat visual maupun lewat alur cerita The World's Fastest Indian. Meski demikian, justru kesederhanaan inilah yang membuat film ini memiliki kesan yang begitu kuat. Burt Monro diperankan dengan sangat pas oleh Anthony Hopkins yang terlihat begitu sadar bahwa fokus utama film ini adalah karakter yang diperankannya. Gestur, gaya bicara, serta ekspresinya betul-betul menghidupkan karakter Burt. Karakter-karakter lain yang ditemui Burt sepanjang perjalanannya juga cukup memorable. Beberapa bagian pada cerita cukup mengharukan dan mampu (((menggetarkan sukma))). Pada bagian lain, tingkah serta pola pikir Burt yang kelewat sederhana mampu memancing senyum secara cukup efektif. Bagian ending mungkin agak terkesan sedikit terlalu didramatisir. Namun tak mengapa. Ya. Sederhana itu indah, kata beberapa orang. Bila kalian membutuhkan tontonan yang bisa menginspirasi, The World's Fastest Indian bisa kalian jadikan pilihan. Ibarat permen, film ini manis tanpa perlu membuat gigi menjadi sakit. Bahwa impian tidak mengenal batas usia maupun letak geografis. Kira-kira demikian. Silahkan dapatkan filmnya di sini.            

Sabtu, 10 Mei 2014

4 Months, 3 Weeks and 2 Days

Tahun 1987. Romania. Aborsi dinyatakan sebagai sesuatu yang ilegal oleh rezim komunis Ceausescu. Terdengar seperti premis yang sangat serius dan berat, bukan? Menariknya, 4 Months, 3 Weeks and 2 Days (yang untuk selanjutnya akan saya alamatkan sebagai '4 Months' saja) berhasil mengemas tema serta latar belakang cerita yang 'berat' tersebut menjadi suatu sajian yang sifatnya lebih personal. Pendekatan seperti ini bisa ditemukan juga di film Life is Beautiful di mana peristiwa sejarah yang terkesan 'serius' dan 'ini tidak main-main, bung!' digunakan sebagai latar pada kisah hubungan antara seorang ayah dengan anaknya. Fokus cerita pada film-film seperti ini adalah bagaimana sebuah peristiwa besar mempengaruhi kehidupan serta interaksi tokoh-tokoh utama di dalam cerita. Di 4 months, latar peristiwa besarnya adalah rezim Ceausescu yang mengilegalkan praktek aborsi, sementara fokus cerita ada di perjuangan seorang perempuan muda dalam membantu sahabat dekatnya melakukan aborsi. Otilia, perempuan muda dengan karakter yang kuat, tangguh, dan 'serba bisa' dengan 'terpaksa' harus membantu sahabat dekatnya, Gabita, untuk menggugurkan kandunganya. Sepanjang film kalian bisa melihat bagaimana gigihnya usaha yang dilakukan Otilia untuk membantu sekaligus 'melindungi' Gabita, meski mungkin pada dasarnya Otilia juga merasakan ketakutan yang sama besarnya dengan yang dirasakan oleh Gabita. Di lain pihak, Gabita tampil sebagai sosok yang terkesan lebih 'lemah' dan seperti tidak tahu apa yang harus dilakukannya dalam menghadapi kondisi yang sedang dialaminya. Kombinasi karakter yang seperti ini mungkin sudah cukup sering dijumpai di berbagai film dan sangat menarik untuk diikuti. Interaksi antara Otilia dan Gabita digambarkan dengan cukup baik. Sangat emosional dan cukup membuat frustasi. Keduanya digambarkan sama-sama mengalami tekanan, meskipun cara keduanya menghadapi tekanan mungkin agak sedikit berbeda. Di film ini, penilaian benar atau salah sudah bukan lagi menjadi suatu hal yang layak untuk diperdebatkan (walau bukan berarti tidak boleh). Film ini mungkin akan menjadi suatu tontonan yang cukup 'sulit' bagi beberapa orang. Dari segi teknis, film ini bolehlah dianggap memiliki nilai di atas rata-rata baik untuk sektor visual maupun audio. Kombinasi cerita, karakter, serta akting yang kuat membuat film ini sangat sayang untuk dilewatkan. 4 Months adalah tentang pilihan dan konsekuensinya. Film yang cukup getir, gelap, dan sedikit melelahkan. Jika kalian merasa sedikit bosan dengan indahnya matahari pagi dan burung-burung yang berkicau, 4 Months bisa menjadi 'obat' yang cukup mujarab untuk kesehatan mental kalian. Kalian bisa mendapatkan 'racun' ini di sini.          

Rabu, 07 Mei 2014

Transamerica

Tema mengenai hubungan antara anak dengan orangtuanya merupakan salah satu tema yang cukup saya sukai. Ada cukup banyak film yang mengangkat tema seperti ini. Transamerica adalah salah satunya. Lalu apa yang membedakan film ini dengan film-film lain yang memiliki tema serupa? Transamerica mengangkat kisah seorang pria bernama Stanley Chupak yang sedang memperjuangkan haknya untuk mendapatkan operasi pergantian kelamin. Stanley akhirnya mendapat persetujuan untuk operasi yang diinginkannya. Operasi tersebut akan dilakukan seminggu lagi. Meskipun belum menjalani operasi, Stanley sudah lama berdandan layaknya wanita dan menyandang nama Bree Osbourne. Sementara itu, sebelum operasi berlangsung, Bree tiba-tiba mendapat telepon dari seorang pemuda bernama Toby Wilkins yang mencari ayah kandungnya yang 'kebetulan' bernama Stanley. Toby adalah tipe pemuda 'bermasalah'. Sementara itu, ibu Toby, yang juga merupakan mantan istri Stanley sudah tiada dan ayah angkat Toby tidak memiliki hubungan yang baik dengan anak itu. Dihadapkan dengan situasi ini, Bree akhirnya memutuskan untuk menjemput Toby yang berada di New York dengan 'menyamar' sebagai pekerja sosial dan berjanji akan mengantarkan anak itu ke Los Angeles. Di lain pihak, Toby tidak mengetahui bahwa Stanley sudah 'berubah' menjadi Bree dan Bree sendiri tidak mengungkapkan siapa dirinya sebenarnya. Dua 'orang asing' itupun memulai perjalanan bersama dari New York menuju Los Angeles. Apa yang terjadi selama perjalanan dari New York menuju Los Angeles? 
Transamerica dikemas dengan gaya road movie yang sangat asik untuk diikuti. Proses perpindahan dari satu tempat menuju ke tempat lain yang diikuti dengan perubahan (kecil maupun besar) pada karakter selama proses tersebut berlangsung adalah kekuatan utama dari film yang menggunakan gaya seperti ini. Akting serta dialog di Transamerica sama kuatnya. Karakter Stanley/Bree mampu menuai simpati secara natural. Demikian juga dengan karakter Toby yang digambarkan sangat cuek dan memiliki emosi yang meledak-ledak khas anak muda 'bermasalah'. Interaksi keduanya begitu hidup dan mampu memberi nuansa tersendiri dalam film ini. Meskipun hanya berkutat seputar dua tokoh utama tersebut, Transamerica jauh dari kesan membosankan. Pada beberapa bagian, ditampilkan (((humour syegar))) yang asiknya dikemas dengan sangat alami dan tidak terkesan nge-judge atau memperolok keputusan Stanley untuk 'berubah' menjadi Bree. Di bagian lain, kesan emosional sangat ditonjolkan dan berpotensi menyulut tetes air mata tanpa disadari. Film yang lumayan berisi pesan moral tanpa terkesan menggurui. Judul film ini sendiri sangat menarik bagi saya karena terkesan memainkan kata-kata dan dapat menyampaikan premis film secara cukup efektif. Secara keseluruhan, Transamerica adalah film yang cukup menggugah perasaan tanpa harus menjadi cengeng, pun menggugah kesadaran bahwa cinta itu universal dan siapapun bisa (berusaha) menjadi orang tua yang (lebih) baik. Film ini layak saya sandingkan dengan Le Grand Voyage, Little Miss Sunshine, atau Rain Man. Kalian bisa mendapatkan film ini di sini.      

Selasa, 06 Mei 2014

Compliance

Entah mengapa, sepertinya banyak sekali fakta maupun isu bernuansa negatif yang bergulir di sekeliling bisnis franchise restoran fast food. Beberapa tahun yang lalu, dunia sempat dibuat heboh dengan dokumenter karya Morgan Spurlock yang sensasional itu. Ya. Super Size Me adalah film dokumenter yang cukup menarik, setidaknya bagi saya. Nah, beberapa hari yang lalu saya berkesempatan untuk menonton film ini, Compliance, yang juga mengambil setting di sebuah restoran cepat saji. Menariknya lagi (atau mungkin lebih tepat disebut menyedihkan), film ini dibuat berdasarkan kisah nyata. Tersebutlah Sandra, seorang wanita yang berprofesi sebagai manager di sebuah restoran cepat saji. Karakter Sandra digambarkan sebagai seseorang dengan watak yang cukup 'sulit'. Hal ini diperkuat lewat gestur serta intonasinya ketika berbicara. Lalu ada Becky, seorang perempuan muda yang bekerja di restoran cepat saji tersebut sebagai kasir. Becky digambarkan memiliki karakter layaknya anak muda kebanyakan, sedikit rame dan 'cuek'. Ada juga karyawan-karyawan lain yang nantinya akan ikut terlibat ke dalam konflik utama dalam film ini. Singkat cerita, Sandra menerima telepon dari seorang petugas polisi yang mengabarkan bahwa Becky dicurigai telah melakukan pencurian terhadap salah satu customer restoran cepat saji tersebut. Atas kejahatan tersebut, petugas polisi itu meminta bantuan Sandra untuk menahan serta menggeledah Becky. Persoalan yang sepintas terlihat cukup sederhana sebetulnya, hingga kemudian keadaan berubah menjadi bertambah rumit, sangat menguras emosi, dan berpotensi menciderai psikis pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Situasi yang pada awalnya terlihat sederhana berkembang menjadi sesuatu yang cukup mengejutkan dan membuat geram. Mungkin dibutuhkan sedikit kesabaran untuk tetap menonton film ini sampai habis. Mungkin kalian juga akan merasa sangat kesal terhadap karakter-karakter tertentu karena sepintas mereka terlihat sangat 'bodoh' dalam menghadapi situasi yang digambarkan dalam film ini. Sayapun demikian (pada awalnya). Terlebih mengingat bahwa apa yang dituangkan dalam film ini adalah kisah nyata. Sulit rasanya untuk tidak bertanya dalam hati apakah mereka benar-benar 'sebodoh' itu di kehidupan nyata. Apa yang ditampilkan di film ini mungkin akan bisa menjadi suatu bahan diskusi yang cukup menarik, terutama mengenai reaksi para karakter ketika dihadapkan pada situasi seperti yang tergambar di film ini. Terlepas dari semua perdebatan yang mungkin muncul, Compliance adalah sebuah film yang berdasarkan kisah nyata yang digarap secara cukup baik. Konflik yang ditampilkan cukup efektif mengaduk-aduk emosi dan didukung dengan akting yang cukup memukau. Intinya, WA KZL NONTON FILM INI WA SEDIH WA PATAH HATI. Sorry, kebawa peran. Dari segi teknis, film inipun cukup layak diapresiasi. Beberapa scene diambil dengan menggunakan teknik extreme close-up yang secara tidak langsung berhasil menggambarkan atmosfir film secara keseluruhan. Kita perlu melihat (segala) sesuatu lebih dekat. Mungkin begitu pesan moralnya. Baiklah. Sekian review (pendek) saya untuk Compliance. Filmnya bisa kalian dapatkan di sini.   

Minggu, 04 Mei 2014

Something in the Way

Jadi barusan ada saran bahwasannya ada baiknya jika saya ikut mencantumkan link download untuk setiap film yang saya ulas. Dengan demikian, akan ada revisi pada postingan-postingan terdahulu dan untuk postingan-postingan ke depan juga bakal saya sertakan link download. Jika tidak saya sertakan, berarti saya tidak bisa menemukan link download yang sophisticated dan saya mohon maaf atas keterbatasan saya tersebut. Demikianlah postingan ini dibuat tanpa adanya paksaan dari pihak lain dan semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih nganu.

Wassalam... 

Tiny Furniture

Lulus kuliah, kerjaan kurang memuaskan, kehidupan percintaan tidak sesuai harapan, selalu merasa terpojok di rumah. Kira-kira demikian gambaran besar Tiny Furniture, film (yang lagi-lagi) berbudget (lumayan) kecil yang celakanya berdampak cukup besar, setidaknya buat saya. Premis film ini sebenarnya sudah terlihat jelas dari poster film yang cukup artistik itu. Adalah Aura, seorang perempuan muda berjiwa 'unik' yang diperankan secara brilian oleh Lena Dunham. Lena juga duduk sebagai sutradara di film ini. Singkat cerita, Aura baru saja lulus kuliah dan pulang ke rumahnya dan bertemu dengan ibunya, Siri, serta adik peempuannya, Nadine. Siri adalah tipe wanita modern, sedikit artsy. Sementara Nadine adalah tipe perempuan 'smart' dengan segudang prestasi serta cukup populer di antara teman-temannya. Sedangkan Aura, well, Aura hanyalah Aura. Situasi seperti ini berpotensi memberikan sedikit tekanan pada kehidupan pribadi Aura. Pekerjaan Aura sebagai semacam resepsionis di sebuah cafe kecil juga ikut menambah 'beban' dalam kesehariannya. Ditambah lagi, kehidupan percintaan Aura juga tidak berjalan mulus. Ada dua laki-laki dalam kehidupan Aura. Jed, seorang pemuda 'eksentrik' yang berkenalan dengan Aura di sebuah pesta, dan Keith, seorang juru masak di tempat Aura bekerja. Hubungan Aura dengan keduanya tidak bisa dibilang sempurna. Belum lagi sahabat dekat Aura, Charlotte, yang sepertinya punya 'masalah' sendiri dengan kehidupannya (atau kehidupan yang tidak dimilikinya). Sepanjang film, Aura harus berhadapan dengan 'masalah-masalah' ini dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik bagi nusa dan bangsa. Kekuatan terbesar Tiny Furniture adalah dialog. Dialog di film ini sangatlah witty jika tidak mau disebut hipster. Beberapa dialog bahkan sangat hilarious dan berpotensi besar untuk menjadi quote hipster. Banyak sekali referensi-referensi yang digunakan di film ini yang saya tidak tahu apa itu masyaallah dan saya menjadi merasa bodoh karenanya. Tapi seru, karena dikemas secara keren dan saya jadi ikut merasa keren karenanya. Karakter-karakter di film inipun sangat menarik dan begitu lekat dengan kesan witty, smart, atau apapunlah. Bahkan Charlotte yang terkesan berkepala kosong pun seperti baru saja menyelesaikan essay mengenai post-modernisme setiap kali dia berbicara. Dari segi teknis Tiny Furniture juga cukup menarik. Ada beberapa adegan yang, well, artsy? Bermakna mendalam? Ya kira-kira demikian. Oh, ilustrasi musik! Bagus sekali. Sangat mendukung nyawa film secara keseluruhan. Apa lagi yang pantas mengiringi cerita bernuansa witty jika bukan nada-nada riang menjurus desperate dan naif ala New York's indies. Tema Tiny Furniture ini (mungkin) sebenarnya cukup 'berat' namun dikemas secara hura hura tanpa harus kehilangan esensinya. Jika kalian menyukai The Royal Tenenbaums, Juno, atau Lonesome Jim, Tiny Furniture ini saya sarankan untuk kalian. Kombinasi sempuna dari cinta, seks, keluarga, seni, impian, pencarian jati diri, dan makna kehidupan. Ya. Kalian bisa dan boleh muntah sekarang. Dapatkan filmnya di sini.     

The Tunnel

Gaya found footage atau mockumentary memang semakin populer digunakan pada genre horror belakangan ini. Tadi siang, saya baru saja menonton The Tunnel, sebuah film horror/thriller asal Australia, berbudget (lumayan) kecil, dan kebetulan digarap dengan menggunakan pendekatan atau gaya mockumentary. Terlepas dari teknik distribusi serta promosinya yang cukup 'sensasional' (The Tunnel didistribusikan secara gratis lewat BitTorrent. Film ini juga menggunakan sistem crowdfunding untuk mendapatkan budget. Nama-nama partisipan crowdfunding tersebut didesain sedemikian rupa pada poster film.), The Tunnel merupakan film horror yang cukup menarik menurut saya. Secara garis besar, The Tunnel bercerita tentang Natasha Warner, seorang perempuan muda yang kebetulan berprofesi sebagai jurnalis. Dibantu oleh ketiga temannya, Peter Ferguson, Steve Miller, dan Jim 'Tangles' Williams, Natasha melakukan semacam investigasi atau kegiatan peliputan mengenai jalur terowongan yang berada di bawah kota Sidney. Seperti film horror kebanyakan, terowongan ini (haruslah) memiliki sejarah yang 'kelam', pernah digunakan semasa Perang Dunia II, misalnya. Dan seperti film horror kebanyakan, keempat orang tersebut (haruslah) menemukan sesuatu yang mengerikan di terowongan tersebut, sesuatu yang tidak mereka duga sebelumnya. Formula seperti ini sudah jadi semacam hukum wajib di film-film horror bertema ekspedisi/investigasi/perjalanan. Sepintas, premis The Tunnel mungkin akan mengingatkan kalian pada [REC] versi Spanyol yang (cukup) fenomenal itu. Pun teknik pengambilan gambar di The Tunnel juga tidak berbeda jauh dengan [REC], menggunakan teknik kamera handheld dan night vision. Untungnya, kualitas The Tunnel secara keseluruhan tidak terlalu mengecewakan. Cerita yang disajikan cukup intens dengan titik-titik kejutan yang cukup efektif. Penggunaan beberapa rekaman atau footage asli juga cukup efektif dalam membangun atmosfir cerita secara keseluruhan. Ditambah lagi dengan adegan-adegan wawancara yang dilakukan pada dua tokoh utama. Sekitar setengah jam awal film mungkin berpotensi sedikit membosankan. Ketegangan baru dimulai pada sekitar menit ke-empatpuluh. Akting lumayan solid dan dialog cukup tertata rapi dan tidak terlalu terkesan didramatisir. Secara keseluruhan, The Tunnel saya nilai cukup sukses mengemban misinya sebagai horror mockumentary/found footage dan tidak (terlalu) terjebak dalam klise sub-genre ini. Bukan suatu hal yang baru, namun setidaknya dapat dikemas dengan baik. Jika kalian suka [REC], The Blair Witch Project, atau bahkan Paranormal Activity yang pertama, The Tunnel layak untuk kalian simak. Film ini bisa didapatkan di sini.