Kamis, 03 September 2015

The Time that Remains

Suatu hari saya dianjurkan oleh Dhery Moelz untuk menonton sebuah film ketika sedang berbalas sahutan dengan beliau lewat Twitter. Film yang dimaksud adalah The Time that Remains, sebuah drama semi-biografi tentang seorang sutradara Palestina bernama Elia Suleiman. Sebelumnya saya belum pernah mendengar nama sutradara yang satu ini. Pun saya belum pernah mendengar judul film yang dianjurkan oleh Dhery. Setelah mengunjungi laman IMDb film yang dimaksud, saya merasa tertarik lalu segera mencari film tersebut di lapak langganan. Di antara kesibukan dengan urusan duniawi beberapa hari ini, akhirnya tadi siang saya berkesempatan untuk menonton film yang ternyata, di luar dugaan, sungguh indah dan menyenangkan.

The Time that Remains dimulai dengan mengambil latar kehidupan rakyat Palestina pada tahun 1948, tahun di mana negara Israel terbentuk. Jadi tak salah memang bila IMDb kemudian memasukkan film ini ke dalam genre history atau sejarah. Cerita berfokus pada seorang pemuda bernama Fuad yang tergabung dalam gerakan perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan militer Israel. Paruh kedua film menceritakan tentang Fuad yang sudah berkeluarga, memiliki seorang istri dan seorang anak laki-laki bernama Elia (sang sutradara). Pada bagian ini dipaparkan kehidupan keluarga Fuad sebagai golongan minoritas (rakyat Palestina yang memilih tetap tinggal di wilayah kekuasaan Israel). Pada paruh ketiga diceritakan Elia yang sudah tumbuh dewasa menjadi seorang pemuda tampan yang pendiam. Pada paruh keempat diceritakan Fuad akhirnya meninggal dunia, meninggalkan istrinya yang sudah berusia lanjut dan Elia yang sudah cukup berumur. Kira-kira seperti itulah plot yang diangkat di The Time that Remains.

Sekilas, plot film ini terkesan ‘berat’. Sejarah konflik Israel-Palestina. Yang terbayang di benak pastilah korban yang berjatuhan, adegan-adegan menyedihkan yang menyayat hati, serta propaganda politik yang kental. Namun yang disajikan di layar sungguh mengejutkan. Elia memaparkan plot yang ‘berat’ ini dengan menggunakan pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang lebih personal dan humanis. Tentu saja Elia masih menyelipkan agenda politis pada beberapa bagian film. Ini film tentang Israel-Palestina, bagaimana mungkin tidak politis. Menariknya, Elia memasukkan unsur politik dengan cara yang sangat halus dan cerdas, tidak menghakimi, tidak terkesan meminta belas kasihan, dan dikawinsilangkan dengan unsur humor yang cukup efektif. Dalam pandangan saya, Elia seperti berusaha untuk melihat sejarah kelam ini sebagai suatu pengalaman yang ‘pantas’ untuk ditertawakan. Bahwa selalu ada hal-hal yang menggelitik bahkan dari peristiwa yang paling mengerikan sekalipun. The Time that Remains mungkin bisa dianggap sebagai usaha Elia untuk menggambarkan konflik Israel-Palestina pada penonton awam (seperti saya) yang mungkin tidak tahu atau kurang paham mengenai subjek ini. Dengan pendekatan yang lebih personal, emosi yang kuat, serta memasukkan gaya bertutur yang komikal, usaha Elia sepertinya tidak sia-sia.

Ada banyak sekali bagian dari film ini yang membuat saya tertawa, lalu terdiam beberapa saat, lalu tersadar tentang betapa getir potret sesungguhnya dari kejadian-kejadian yang Elia angkat, terutama pada paruh pertama, kedua, serta keempat film ini. Pada satu bagian di paruh kedua, ditampilkan satu karakter yaitu seorang laki-laki tua yang menjadi tetangga Fuad. Laki-laki tua ini sudah seperti kehilangan akal sehatnya, tenggelam dalam konsumsi alkohol yang berlebihan, akibat kondisi yang terbentuk dari konflik. Laki-laki tua ini memiliki kebiasaan menyiramkan bensin ke sekujur tubuhnya dengan tujuan untuk membakar dirinya sendiri. Fuad juga punya kebiasaan yaitu mencegah laki-laki tua ini untuk menuntaskan niatnya. Adegan ini ditampilkan beberapa kali seakan-akan sudah menjadi bagian yang lumrah dari keseharian keluarga Fuad. Lalu ada juga suatu ilustrasi menarik yang ditampilkan di paruh keempat. Di bagian ini, sebuah tank Israel terparkir tepat di depan sebuah rumah. Lalu pemilik rumah keluar dari pintu depan dan melangkah menyeberangi jalan untuk membuang sampah ke tempat sampah. Gerakan si pemilik rumah ditimpali dengan gerakan laras tank yang bergerak perlahan mengikuti gerakan sang pemilik rumah. Pemilik rumah menyeberang jalan lagi untuk kembali ke rumahnya. Laras tank ikut bergerak. Pemilik rumah menerima panggilan dari telepon genggamnya lalu berbalik melangkah ke tengah jalan. Laras tank lagi-lagi ikut bergerak. Sangat komikal. Tapi seperti yang sudah saya sampaikan di atas, dibalik semua kelucuan ini, Elia tetap berusaha untuk menyampaikan sesuatu pada penonton.

Dari segi teknis, film ini juga nyaris sempurna. Komposisi gambar yang diciptakan serta pemilihan sudut pengambilan gambar dan framing menciptakan adegan-adegan puitis yang juga terkadang terkesan agak sureal. Emosi yang kuat bisa terasa di beberapa adegan tanpa kehadiran dialog sekalipun. Hal ini ikut didukung dengan pemilihan ilustrasi musik yang tepat. Musik yang disajikan dapat memperkuat atmosfer film secara keseluruhan. Pada beberapa bagian, musik bahkan menjadi sangat dominan sehingga mampu menciptakan kesan tersendiri pada plot. Ambil contoh pada saat ibu Elia yang sudah uzur menggerakkan telapak kakinya naik turun mengikuti alunan musik yang memancar keluar dari pengeras suara. 
          
The Time that Remains merupakan gambaran yang menarik mengenai konflik Israel-Palestina dan kehidupan rakyat Palestina sebagai minoritas. Layak disandangkan dengan Paradise Now, meski kedua film menggunakan pendekatan yang cukup berbeda. The Time that Remains juga sedikit banyak mengingatkan saya pada Life is Beautiful, mampu menggugah sisi kemanusiaan tanpa harus terkesan terlalu menceramahi. Film yang berhasil memadukan politik, humor, dan humanisme dengan kadar yang pas.


Silakan dapatkan filmnya di sini.

Senin, 24 Agustus 2015

Her

Sekitar seminggu yang lalu saya akhirnya berkesempatan menonton Her, film terbaru garapan salah satu sutradara favorit saya selain Fincher, Spike Jonze. Sesuai dugaan, film ini ternyata membekas cukup dalam dan sedikit ‘meresahkan’ saya. Sebenarnya sudah banyak kabar yang saya dengar berkaitan dengan film ini sebelumnya. Betapa saya harus menonton film ini karena sangat bagus kata banyak orang. Tapi saya selalu menunda menonton film ini. Selain karena malas dan belum mendapat momen yang pas, ada alasan lain mengapa saya seolah-olah menghindari menonton film yang satu ini. Tapi akhirnya toh mau tidak mau saya ‘terpaksa’ menonton Her. Karena tetap ada sedikit rasa penasaran, tentu saja. Setelah menonton, gejolak untuk mereview film ini sangat kuat. Seperti halnya review Frank, saya ingin menulis review dengan gaya yang agak berbeda untuk Her. Lalu saya tiba-tiba saja mendapat ide, bagaimana bila review kali ini saya mengajak orang lain untuk membahas film yang dimaksud.

Ide ini muncul karena tema Her adalah tentang ‘hubungan’ atau ‘relationship’. Her menceritakan hubungan ‘spesial’ antara Theodore, seorang pria yang berada di ujung perceraian dengan sebuah OS (Operating System) bernama Samantha. Singkatnya, saya ingin menulis review tentang Her di mana dalam review tersebut saya bercakap-cakap dengan orang lain dan membahas film ini. Hal ini saya lakukan untuk memperkuat gagasan Her tentang relationship itu tadi. Ya intinya kira-kira seperti itu. Masalahnya, siapa yang akan saya ajak untuk membahas film ini?

Akhirnya, seseorang mengajukan diri dan bersedia untuk membahas film ini bersama saya. Beliau adalah Sabda Armandio Alif, seorang (((penulis muda berbakat))) yang kebetulan juga sangat saya kagumi karena keahlian berceritanya yang kadang-kadang sungguh di luar dugaan. Singkat kata, pada 19 Agustus 2015, saya dan Dio akhirnya memutuskan untuk melakukan percakapan via Whatsapp dalam rangka membahas Her. Berikut saya tampilkan percakapan yang kami lakukan saat itu sebagai sarana untuk memberi sedikit gambaran mengenai Her. Percakapan ini telah saya edit sedemikian rupa untuk mengurangi potensi spoiler tanpa menghilangkan esensi dari obrolan kami ketika membahas film ini. Selamat membaca.

Dio: Ini maksudnya gimana don? Mau curhat apa gimana? Hahahaha [emot nangis]
Dony: Bera wqwq. Udah bikin kopi Io? Nga. Jadi gini. Her ini kan film yang intinya tentang interaksi manusia di era informatika. Nah, untuk memperkuat kesan itu, maka saya selaku penggugat yang kemudian akan disebut sebagai pihak pertama
Dio: Lagi pesen kopi sepeda. Bera kwkwjwwkwkk
Dony: Mengajak saudara Dio untuk bersama sama… ya intinya mah… shall we? [emot mata love love]
Dio: Yauda~ Iya bener
Dony: Jadi~ Apa ya pembukanya. Wqwq
Dio: Pembukanya intro wqwq. Bentar, bayar kopi dulu
Dony: Wa (saya – red.) tau film Her kan udah lumayan lama yes. Hype nya lumayan kenceng pas rilis dan kata banyak orang bagus. Tapi wa selalu nunda nonton karena ya udah tau lah ya. Nah, kita ngobrolin film ini untuk apaan wa juga nga ngerti sebenernya wkwk. Sinopsis di skip aja yes. Io cerita dong kenapa bisa tertarik buat nonton Her. Wkwk
Dio: Gua sendiri nonton film ni pertama kali tengah 2014, kalau nga salah. Dengar dari cerita teman~ Nonton dan, yaudah… Wqwq ga ngira akan dibuat gitu sih. Awalnya qupikir akan mengeksploitasi tema (((eksistensialisme))) tapi ternyata lebi mengedepankan (((perasaan))) dan asyik tuk diikuti~
Dony: Hahaha. Bener. Wa sepakat. Trus trus~
Dio: Suatu hubungan LDR yang terlalu LDR [emot nangis] Terus… Apaan wqkwjqkqkqk. Semacam apa ya… Mengembalikan kata ‘move on’ ke tempatnya, mungkin. Kita kan sering denger kata move on belakangan ini, dan aing (saya – red.) sendiri suda tida lagi menemukan kesedihan di dalamnya. Hehe maksudnya, mungkin karena suda terlalu sering digunakan sehingga…
Dony: Nah. Ok. Menurut lu sendiri, kira kira film ini apaka suda bisa menjadi gambaran relationship masa kini?
Dio: Iya, kayaknya. Ini kurang lebih kan sama aja kayak LDR yang ketemu di medsos ga pernah ketemu sama sekali dan cuma bercakap-cakap lewat telepon? Apaka masdon… xixixi
Dony: Hahaha. Ya. Iya sih. Sekarang relationship ada pengaruh dari medsos juga ya. “Jauh di mata dekat di medsos”. Wqwq. Wa juga sempet tertarik ngebandingin hubungan Theodore dan Samantha sama hubungan H.A.L. 9000 dan Dr. Dave Bowman di 2001: A Space Odyssey. Ada tanggapan mungkin dari lu?
Dio: Bentar sebats duls wqwq.
Dony: Haha
Dio: Oke jelas ada sih Don kayanya. Mungkin lebih ke ini apa. Mulanya kita menciptakan alat untuk bertahan hidup, tapi kemudian kita bergantung pada alat itu. Karena kita kan mudah terbiasa sama apa aja? Terus kita membiasakan diri… Di Her, percakapannya ena betul…
Dony: Yha~
Dio: Gua kira Spike Jonze sangat bisa menguliahi penontonnya perihal (((eksistensialisme))) tapi dia nggak melakukannya. Tapi ya itu tadi, dia nggak melakukannya. Gua sendiri bukannya mikirin pertanyaan si element software (yang suda kelewat sering kita dengar) gua jadi mikir gini setelah nonton: mungkin seharusnya kita tumbuh dalam percakapan; dalam cerita-cerita menarik yang dibagi atau apaan kek, bukan dari kekerasan.
Dony: NAH~ Hahaha
Dio: Menurut lu gimana?
Dony: Iya. Wa juga awalnya sempet mikir, ini film bakal kejebak di ‘stereotip’ eksistensialism. Tapi ternyata Jonze mampu ngolah dari sudut pandang beda. Perasaan. Itu yang bikin Her rada 'fresh' sih meski tetep ada hint tentang hubungan manusia dengan AI tapi nga dibahas teknis atau filsafatnya. Kayaknya yang dituju emang emosi sih ya.
Dio: Itu dia~ Jadi menarik karena Samantha dikasih intuisi. Dia punya intuisi: gudang isinya kardus berantakan. Dari obrolannya dengan Theodore lahirlah akal~ Dikasih fakta-fakta. Akal menata ulang kardus itu. Nah, pas kardusnya udah rapi… Jeng jeng~ Samantha punya bayangan soal tubuh~ kenikmatan~ pas intuisinya mulai hanyut, akal ngehajar dia~ ditabok gitu wqwq: kamu nga punya tubuh. Brutal~ [emot nangis]
Dony: Iya. Bera. Yang (scene) pas dia milih nama Samantha itu menurut wa menarik. Jonze njelasin teknis Samantha milih nama dari beberapa opsi melalui kemampuan search. Ini teknis. Tapi di waktu yang bersamaan, Jonze nunjukin kemampuan Samantha buat (memutuskan) milih nama itu karena dia ‘menyukai’ nama tersebut. Ini udah masuk ranah emosi. Dan itu ditampilkan di 1 scene.
Dio: Hhhh :’(
Dio: Soal tubuh ini… Lama lama bisa bahas Focault… Tubuh adala sumber kenikmatan~ Bukan sumber dosa~ Eh gitu kan ya wkwkwkwk udah ah lupain~
Dony: Pertanyaan besarnya kali ya klise ya: apaka AI bisa memiliki perasaan.
Dio: Iya Don itu dia
Dony: Hahaha Focault
Dio: Gimana kalo kita manusia yang mengunggah pikiran kita ke PC? Kita punya perasaan. Apa PC nya nanti jadi punya perasaan? Bisa merasa kehilangan? Heheh
Dony: Nah, yang menarik, anggap saja jawabannya iya. Ternyata, perasaan si AI ketika dikonfrontasikan dengan perasaan Theodore ujung ujungnya tetep menimbulkan konflik. Jadi wa sempet berkesimpulan, meskipun judulnya Her, film ini tentang Him sebenernya
Dio: Jadi?
Dony: Konfliknya sebenernya tentang Theodore yang mengalami ketidakmampuan dalam menjalin hub emosional?
Dio: Iya wqwqwq tapi kan yang digambarin evolve itu si OS nya sampe akhirnya sang OS menyerupai Theodore?
Dony: Nah.
Dio: Si Theodore sendiri ga banyak berubah. Kayaknya. She and Him hahaha
Dony: Katakanlah si Samantha ini manusia lalu ketemu Theodore. Lalu mereka melakukan interaksi yang sama. Apaka~ Hahaha bera
Dio: Iya. Tapi gimana ya. Kalo Samantha manusia, dia ga akan senorak itu sih kayaknya. Dia udah lewatin banyak hal kan sampe (akhirnya) dia gede. Eh tapi kalo hubungannya lewat telepon aja, kemungkinan iya Don. Mungkin fokus hubungan Samantha dan Theodore itu adala kehadiran~
Dony: Tubuh itu tadi ya
Dio: Iya, apa ya, ada saat di mana percakapan aja ga cukup karena memang manusia dibikin gitu. Dan sentuhan mengisinya… Tapi itu bukan jaminan kalo mereka bisa bahagia kan? Suatu hari bisa bosen. Mungkin alasannya akan sama kaya si istri Theodore? Kenapa Theodore ga diceritain single aja? Kenapa dia harus dalam proses perceraian? Iya Don mungkin gitu.
Dony: Jadi nyambung ke ‘tubuh substitusional’ Samantha.
Dio: Pas si Samantha nyuruh temennya itu nemui Theodore, ternyata kan percakapan aja ga cukup, Theodore tetap merasa asing dengan si cewe sekalipun itu suara dan memori Samantha.
Dony: Mungkin perceraiannya buat memperkuat premis ketidakmampuan Theodore itu tadi kali yha
Dio: Iya, dan kalo dibikin sequel Her 2 gitu. Apaqa~ Bera sequel wqwqwq
Dony: Ya kayak lu bilang tadi. Move on. Memang awalnya Samantha yang evolve. Tapi akhirnya si Theodore evolve juga (dengan caranya sendiri). Segi teknis ntap lah ya warna pastel dan washed out. Set yang Apple-esque. Score nya juga ntap.
Dio: Theodore memandang layar dan nanya: Di antara kita, sebenarnya, ada apaaaaa~ aaaaaaa~ Iya warnanya ena dilihatque. Dan seharusnya jadi alternative qisa percintaan kali ya. Bukan lagi soal remeh kaya beda agama, tapi soal, kalo gua ga punya badan, lu tetep cinta eug nga. Apaan qlqjqkqkqkqkqkqkwkwkwk. Tubuh Theodore mengikat Theodore di dunia nyata, sementara Samantha bisa jalan ke mana aja. Tapi ternyata dua duanya bisa sedih cuma karena persoalan sepele. Aing suka pas opening tuh ena ya. Krrrrt krrrrk krrrrt.
Dony: Yha. Haha. Ntap. Oya, Io, soal profesi Theodore ini juga menarik.
Dio: Si pembuat OS sadar betul, pekerja kaya Theodore butuh rumah lain tempat mengikatkan diri~ Nah Iya hahahaha bera udah di masa depan tapi orang merindukan tulisan tangan~
Dony: Menulis surat untuk orang lain. Jonze seolah olah pengen bilang…
Dio: Pengen bilang… “mi rebus telor setengah mateng”
Dony: Hahahaha Jonze seolah olah pengen bilang “Ini orang yang ngerti manusia, paham orang lain, tapi gagal memahami diri sendiri.” Yang wa tangkep gitu.
Dio: Iya don, dari obrolan dia sama penjaga (FO tempat kerja Theodore) itu siapa namanya yang suka sama suratnya? Tersirat demikian~
Dony: Buku kumpulan surat Theodore > buku kumpulan surat Kartini. It’s just letters~
Dio: Hahahahahah. Sedih juga sebetulnya.
Dony: Sasaran film ini emang kaum urban kali ya. Makanya mungkin banyak yang (bisa) related (nyambung).
Dio: Nah iya. Jadi gini, dulu pas eug (saya - red.)sering bolak balik naik kereta sering kepikiran. Mereka dempet dempetan dalem gerbong, pagi ngantuk sore cape. Dan di dalem gerbong ini jadi menarik karena itu tadi soal rumah, mereka berusaha menyamankan diri di dalem gerbong. Di situ justru mereka keliatan bebas, menurut eug.
Dony: Mantap~
Dio: (gerbong adalah) Tempat lari dari masalah kantor dan masalah dapur~ wqwqwq
Dony: Kita semua mencari~
Dio: Dan si OS ini mungkin juga begitu, ngasih media ke orang yang ga punya tempat buat itu hhhh. Mencari oksigen~
Dony: Escape~ Hahahaha
Dio: Bagian favorit u di film ini yang mana?
Dony: Banyak sih. Tapi yang paling suka yang Theodore merem dan (bergerak) dipandu sama Samantha.
Dio: Apaqa ada pengala… xixixi
Dony: Hahahaha nga. OS menawarkan kenyamanan. Namun setela interaksi berjalan Theodore justru merasa ‘ta nyaman’. Apaka yang namanya relationship pada intinya adala tentang ketidanyamanan bukan justru tentang kenyamanan? Wqwq. Pengalaman~ hahahaha
Dio: Gini Don, qu percaya kita tida bisa memahami orang lain (dan orang lain) tida bisa betul betul memahami kita. Itu masalahnya. Di mana pun mungkin kita akan menemukan celah yang bikin kita tida nyaman sebab… Kita… Berjalan… Sendiri… Sekalipun lagi berdua. Hehe. Hahahaha.
Dony: ANJAY~ INI MAH BUAT CLOSING KUDUNYA NAMPAR BANGAT WQWQ
Dio: Apaqa mirip… Dengan… Theodore dan Samantha… Atau qmu bocah yang berkata kasar (di game yang dimainkan oleh Theodore)… Apala relationship kita cuma ego di dalam bungkus kulit. Bungkus (rokok) filter dikasih nyawa juga bisa kaya orang wqwq
Dony: Indeed. Serupa dengan apa yang saya tangkap dari film ini. Oya Io, satu lagi
Dio: Apaan :’( 
Dio: Qmu mau mulai curhat? Uwuwuwuw :3
Dony: Hahaha nga. Apaka Her sedi karena Thedore ‘menyedihkan’ atau Her sedi karena kita dihadapkan pada gambaran relationship modern?
Dio: Wadu ini susa nih… sebat duls~
Dony: Atau kamu mungkin punya opini sendiri kenapa film ini sedi? Roko wa abis wqwq
Dio: Jujur sahaja, di satu titik, aing seolah Theodore, bukan dalam hal percintaan tetapi dalam gampang ga ngerti wqwq soal relationship, eug ga perna merasa serepot itu sih, tapi jadi sedi karena di luar sana ternyata ada yang begitu. Masalah modern lahir justru dari apa yang kita bikin dan kita pikir bisa membantu kehidupan kita. Ironis betul~ Tetapi cukup membuktikan kalau kita mungkin selamanya sedih karena kita ternyata dikutuk dalam ketidak-tahuan yang panjang hhhhh wqwq. Itu cukup membual~ Kalo u kenapa sedi Don? Sampe menunda nunda (menonton)… Selain yang u jelasin di tweedter.
Dony: Karena kayak ngaca anjis surem. Asli. Wqwq
Dio: Hahahaha duh. Hmm
Dony: HAHAHA
Dio: Ngaca ke (karakter) Theodore atau ke hubungan Theodore dan Samantha?
Dony: AING NGA BAKAL CURHAT FYI AJA NIH YA hahah
Dio: U perna punya pacar bersuara begitu???
Dony: Ke karakter Theodore nya sih
Dio: Hmm… Yauda~ wqwqwq nah nah
Dony: Sedikit banyak wa (ngerasa) kaya si Theodore. Ya itu tadi kurang bisa ngehandle (hubungan) emosional.
Dio: Meminjam istilah penjaga (ditempat kerja Theodore) itu “separuh wanita”? wqwq
Dony: Hahahaha. BERA BENER BANGET ITU
Dio: Tapi gini Don. Gitu aja… Hehe
Dony: (gitu) Gimana lah bera wqwq
Dio: Berkaca pada cinema. Ga gimana gimana~
Dony: Iya. Menyama nyamakan agar supaya. Hahaha
Dio: Apaqa qmu mudah larut seperti gula dalam kopi panas? Apaan lagi ya soal film. Lah kita juga ini kaya Her Don
Dony: Hahaha ilusi kedekatan~
Dio: Tapi serius, tiap orang harusnya cemas sebab ternyata selalu ada lapisan tipis antara dia dan orang lain. Beruntunglah qta bisa ngegombal, seolah mencintai orang sedalam dalamnya, padahal tida perna sedalam itu hhhh  :’(
Dio: Apalagi ini antara dia dan benda mati… laif~
Dony: SUBHANALOVE DIO~ [emot nangis tiga kali]
Dio: Ngetiknya gemeteran ini [emot nangis empat kali]
Dony: Hahahaha
Dio: Hahaha ada lagi ga soal mengenai perihal nganu? Oh iya bagian denting piano itu yang gubahan Samantha juga qusuka. Dia googling dulu kali ya nyontek partitur. Wqwq
Dony: Anjis hahahaha. Nyiptain musik bera
Dio: Iya kan beraaaaaa
Dio: Tapi masuk akal sih, kan apa yang kita upload itu anggaplah pengalaman atau memori kita. Nah Samantha ini cuma mengeluarkannya~ Ena ya jadi OS wqwqwq
Dony: Hahahaha. jadi OS. Ada OS dalam oshi. Wa juga suka desain lift-nya yang ada siluet pohon pohon. Nuansa organic dalam tampilan digital haha
Dony: Trus yang dia (Samantha) ketemu siapa itu yang udah meninggal trus dijadiin OS
Dio: Meninggal dijadiin OS… Orang ga bisa mati. Sedi  :’(
Dio: Akherat ternyata hanya sirkuit
Dony: Anjay~
Dio: Terapkan di Bangka Don…
Dony: Baiqla. Closing Io. Sebelum terlalu dalam~
Dio: Apaan terlalu dalam wqwqwq. Maaf ya kalau tida sesuai hhhh :’(
Dony: Nga apa apa. Kalo mau mencari kesesuaian mah ke biro joodoh. Sok Io. Closing. Kenapa film ini ‘penting’? Kenapa orang sebaiknya menonton Her?
Dio: Apaqa punya pengalaman… Biro jodo???
Dony: LO MAH MANCING MANCING MULU DARI TADI HAHAHA
Dio: Kenapa ya? Hahaha buat berkaca pada cermin yang kotor~ Wqwqwq. Ini ga penting penting amat sih. Tapi
Dony: Bera hahaha. Tapi?
Dio: Eh ini ada tapinya nih. Bentar nih mikir dulu.
Dony: Sampis wqwqwq (22:59)
Dony: Dio is typing (23:11)
Dio: Wqwqwq. Belom. Hhhh (23:11)
Dony: Hahaha. Yauda. Qu menunggu~
Dio: Theodore bisa nulis surat yang indah buat orang yang belum pernah dia temui. Dia berhasil mewakili perasaan mereka, dan sesungguhnya dia tahu, dia sedang melakukan kebohongan besar sebab dia sendiri terlibat dalam konflik ta berkesudahan dengan dirinya. Tidakkah ini mengingatkanmu dengan… Seseorang? Wqwqwq. Film ini ‘penting’ karena mungkin saja kita sudah ada sejak lama di era Her: di mana kehadiran fisik seseorang penting sekali, untuk merasakan (((cinta))). Dan cinta cuma ada di situ, di fisik. Kita sadar ini. Tapi sialnya, kita bisa jatuh cinta kepada siapapun, bahkan kepada orang yang cuma bisa kita temui di dunia maya. Seseorang yang jelas jelas nggak bisa setiap hari mengelus rambutmu atau menyentuh tengkukmu atau bercinta denganmu. Seberapa siap kita tidak lagi merisaukan sentuhan fisik atau jarak? Dan mungkinkah kita bisa memahami orang yang tidak pernah kita temui sementara kita yang ketemu diri kita tiap hari pun tetap nggak bisa memahami diri kita sendiri? Dan kembali ke pertanyaan klise: emang cinta apaan sih~ Singkatnya~ Bodo amat~ Gimana kalau ternyata cinta gak ada? Wqwqwq
Dony: Yha robb~ Ok. Ini tar wa publish di blog yes. Diedit seperlunya demi menghindari spoiler tanpa mengurangi esensi~
Dio: Iyaaaa bebas~
Dio: Gitu aja sih Don semampu aing [emot nangis tiga kali]
Dio: Ga kuat juga nontonnya hehe. Males ngulang nonton lagi wqwq.
Dony: Kami selaku panitia menyampaikan terimakasi yang sedalam dalamnya lautan hindia~
Dio: Jadi kita bisa mulai sex by text…
Dony: Apaka ada pengalaman~
Dony: Xixixi~
Dio: Beraq wlqkwkqkqkqkqk
Dony: Mampus hahahaha
Dio: Ga sesurem situ kayanya uwuwuwuw
Dony: Bngst wqwq. Sex by text tar tar lah kita bikin lagu bareng aja dulu. Yauda Io. Kalo mau moto sampah silakan… Kapan kapan kita ngobs (ngobrol – red.) lagi
Dony: Bahas Hegel
Dony: [emot nangis lima kali]
Dio: Hahahaha. NGA.

Ya kira-kira seperti itulah percakapan yang kami lakukan untuk membahas Her saat itu.

Her memang merupakan drama percintaan yang luar biasa. Premisnya mungkin sedikit klise namun berhasil dikembangkan dengan sangat baik sehingga tetap terasa unik dan segar. Dibandingkan dengan film Spike Jonze lainnya, Her mungkin masih termasuk dalam kategori ‘mudah cerna’. Meski demikian, film ini tak pelak lagi dapat memicu diskusi mengenai sejauh mana manusia bisa terlibat secara emosional dengan ‘benda mati’. Apakah OS benar-benar bisa memiliki perasaan? Apakah nilai interaksi antara manusia dengan OS sama dengan nilai interaksi antara sesama manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin sudah cukup sering kita dengar atau bahkan kita tanyakan sendiri. Dalam pandangan saya, Her berhasil memberikan perspektif ‘baru’ dalam kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Her memunculkan kemungkinan yang bisa jadi luput dari perhatian sebagian besar penikmat film genre sci-fi bertema hubungan manusia dengan mesin atau komputer. Mudah-mudahan, obrolan ringan saya dengan Dio di atas bisa sedikit memberi gambaran mengenai apa isi film ini sebenarnya.

Saya tidak menyesal akhirnya menonton Her.


Silakan dapatkan filmnya di sini.

Selasa, 04 Agustus 2015

Unfriended

Hai~ Halo~
Lama tak bersua. Hehe.
Yaudah segitu aja basa basinya.

Kali ini saya akan kembali mencoba memberikan review film yang baru saja saya tonton semalam, mumpung ingatan akan film tersebut masih hangat. Maaf bila review kali ini lagi lagi datang dari genre horror. Ya abisnya gimana ya~  :'(

Film yang akan saya bahas kali ini berjudul Unfriended, sebuah film horror remaja yang cukup mendapat perhatian beberapa bulan belakangan setelah It Follows. Mengapa film ini jadi pembicaraan mungkin karena kemasannya yang begitu dekat dengan kehidupan modern, khususnya di kalangan remaja. Ya. Unfriended adalah film horror yang menggunakan internet dan sosial media sebagai semacam katalisator dalam plot.

Internet tak pelak lagi telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia modern. Di sisi lain, internet, seperti juga hal lain dalam kehidupan, selalu memiliki dua sisi. Saya tidak akan membahas mengenai sisi gelap internet atau bagaimana internet dapat menjadi suatu ancaman dalam kehidupan. Lupakan sejenak tentang Deep Web. Wajah mengerikan internet bisa terlihat dengan jelas di permukaan ketika semakin banyak orang yang memiliki ketergantungan untuk membagi segala hal, termasuk informasi pribadi di media sosial atau ketika pelanggaran privasi telah menjadi sesuatu hal yang kian wajar. Tak heran bila kemudian banyak orang yang memutuskan untuk menghapus akun media sosial yang mereka miliki atau lebih jauh lagi, mengalami apa yang dikenal dengan cyberphobia. Unfriended mencoba mengolah premis kehidupan online dan efeknya yang pada dasarnya memang mungkin sudah mengerikan menjadi suatu sajian yang jauh lebih mengerikan, dengan menambahkan elemen horror tentu saja.

Diceritaken~
Adalah Laura Barns, seorang remaja wanita yang melakukan bunuh diri di lingkungan sekolah. Aksi bunuh dirinya sempat direkam oleh salah satu siswa dan diunggah ke salah satu situs video streaming. Sementara itu, di Youtube ada video lain yang disebut-sebut sebagai video yang menjadi pemicu bagi Laura Barns untuk melakukan aksi bunuh diri.

Singkat kata, tepat setahun setelah aksi bunuh diri Laura, lima remaja yang kebetulan bersekolah di sekolah yang sama dengan Laura, yang juga mengenal Laura, melakukan video chat secara bersamaan melalui fasilitas Skype. Tanpa diduga, muncul seorang peserta lagi dalam kegiatan group video chat tersebut yang tidak diketahui identitasnya. Selanjutnya terjadi hal yang lebih mengejutkan. Peserta misterius tersebut mengaku bernama Laura Barns dan mulai melakukan hal-hal yang 'mengganggu' bagi peserta video chat yang lain.

Siapakah sebenarnya peserta video chat misterius itu? Apakah benar itu Laura Barns yang melakukan aksi bunuh diri setahun yang lalu? Ataukah peserta itu hanya merupakan keisengan yang dilakukan oleh salah satu peserta group video chat?

Plot Unfriended tidak benar-benar menampilkan sesuatu yang baru. Bagi penggemar horror, plot seperti ini tentu saja sudah cukup akrab. Tentang sekelompok orang (biasanya remaja) yang menyembunyikan rahasia tertentu yang kemudian rahasia itu justru digunakan untuk mencelakakan mereka. Plot yang hampir sama pernah disajikan di I Know What You Did Last Summer. Unfriended mengolah (ulang) plot seperti ini dengan sangat baik menurut saya. Ketegangan khas remaja cukup terasa intens ketika satu per satu dari mereka dikonfrontasikan dengan rahasia yang selama ini mereka simpan, termasuk rahasia tentang kematian Laura Barns sendiri. Bagi beberapa orang, mungkin reaksi para remaja ini terlalu berlebihan. Namun bila dilihat dari sisi lain, hal ini bisa jadi sangat wajar mengingat betapa (kebanyakan) remaja sangat mengutamakan image mereka. Bayangkan bila kalian punya satu rahasia memalukan dan teman kalian mengancam akan menyebarkan rahasia tersebut ke seluruh penjuru sekolah. Bisa jadi, bagi beberapa remaja, hal tersebut akan menjadi alasan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang 'nekat'. Bunuh diri, misalnya.

Reaksi 'berlebihan' juga timbul ketika para remaja ini mengetahui identitas 'asli' dari peserta video chat misterius tersebut. Satu dari mereka menganggap bahwa peserta misterius tersebut hanyalah internet troll, atau orang yang melakukan hal-hal iseng di internet untuk menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengguna internet yang lain. Beberapa dari mereka merasa ketakutan. Ada yang bahkan sampai menghubungi polisi. Ya. Mungkin reaksi para remaja ini berlebihan. Mungkin juga tidak. Bayangkan kalian melakukan chat dengan seseorang yang tidak kalian kenal di media sosial dan ternyata orang tersebut mengetahui segala sesuatu tentang kalian, bahkan hingga rahasia terdalam yang kalian sembunyikan.

Tapi tentu saja para remaja ini bisa mengacuhkan kehadiran peserta misterius tersebut, kan? Mereka bisa saja log out dari Skype, menganggap kejadian tersebut bukanlah sesuatu hal yang penting. Ini suatu opsi, kan? Sayangnya tidak semudah itu. Ada ancaman. Dan ancaman iitu terasa nyata. Celakanya lagi, peserta misterius ini menarik para remaja itu untuk ikut masuk ke dalam permainan yang diciptakannya. Di satu sisi, para remaja ini merasa sangat ketakutan. Namun di sisi lain, mereka juga merasa penasaran dan ingin tahu tentang kebenaran apa yang disembunyikan oleh masing-masing dari mereka. Dilema ini diolah dengan sangat baik di Unfriended.

Dari segi teknis, saya mendapatkan pengalaman 'baru' yang cukup menyenangkan ketika menyaksikan Unfriended. Film ini, dari awal hingga akhir, 'hanya' disajikan lewat layar laptop karakternya. Kalian hanya disuguhi window demi window dari berbagai aplikasi mulai dari Skype, browser, hingga laman Facebook. Pendekatan visual seperti ini memunculkan kedekatan yang begitu intens dengan karakter di film. Seolah-olah kalian menjadi peserta video chat lain yang ikut bergabung bersama karakter di film ini. Hiperrealitas seperti ini bisa jadi akan sangat menegangkan bagi beberapa orang, termasuk saya. Saya juga tidak bisa menyebutkan film ini sebagai film dengan genre found footage karena film ini bekerja dengan cara yang berbeda. Mungkin film ini terinspirasi dari genre found footage. Tapi bukan found footage per se. Ya. Sesuatu yang 'baru'. Oya, jangan khawatir dengan piksel pecah khas koneksi lambat yang muncul di awal film (logo Universal Pictures). Tidak ada masalah dengan film yang sedang anda tonton. Itu semata-mata hanya trik untuk menampilkan gaya visual yang lebih realis.

Unfriended mungkin bukan horror modern terbaik. Namun film ini jelas bekerja dengan sangat efektif. Bagi beberapa orang (khususnya remaja), film ini mungkin, bisa jadi, memberikan efek yang lumayan hebat. Seberapa jauh kalian mengenal teman-teman kalian. Rahasia apa yang mungkin mereka sembunyikan dari kalian. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin akan menghantui beberapa orang sehabis menyaksikan Unfriended. Dan percayalah, pertanyaan-pertanyaan seperti ini jauh lebih mengerikan dibanding semua hantu gentayangan, baik yang online maupun yang tidak.

Silakan dapatkan filmnya di sini.

Sabtu, 21 Maret 2015

Pontypool

"It's only the English language that's infected."

Bahasa mungkin merupakan salah satu hal yang perannya sangat besar dalam kehidupan ini. Kita bisa berkomunikasi dengan orang lain, menyampaikan maksud dan keinginan, mengekspresikan perasaan dan mengaktualisasikan kondisi diri dengan menggunakan bahasa. Bayangkan, bagaimana anda bisa menyampaikan bahwa anda sedang #EhKangen bila anda tidak mengenal yang namanya bahasa? Bagaimana anda bisa menyebarkan gerakan #SavePindang bila anda tak mengenal yang namanya bahasa? Anda bahkan tidak bisa memesan bubur ayam, baik yang kemudian anda aduk atau tidak, bila anda tidak mengenal apa itu bahasa.

Pontypool merupakan film horror/thriller yang menggunakan pendekatan 'linguistik'. Tema film ini sendiri sebenarnya sudah cukup usang di ranah horror/thriller, utamanya di sub genre zombie. Singkat kata, Pontypool menceritakan tentang semacam wabah yang menyebar di sebuah kota kecil bernama Pontypool. Wabah tersebut menyebabkan manusia menjadi hilang kesadarannya, gila, menggumamkan kata-kata tertentu, dan bahkan mengkonsumsi sesamanya. Yang menarik, virus penyebab wabah itu bukan disebarkan lewat gigitan seperti pada film-film zombie kebanyakan. Virus ini juga tidak disebarkan melalui udara atau air atau medium lain yang umum digunakan pada film-film bertema zombie.

Virus penyebab wabah di Pontypool disebarkan lewat bahasa, lewat kata-kata tertentu yang diucapkan oleh mulut. Menariknya, yang bisa memicu penyebaran virus hanyalah Bahasa Inggris. Jadi ada dua pilihan yang bisa dilakukan untuk menghambat penyebaran virus, menggunakan bahasa tulisan atau menggunakan bahasa lisan selain Bahasa Inggris. Sampai di sini saja, premis film ini sudah sangat menarik, setidaknya bagi saya. Sisanya, Pontypool masih mengikuti pakem-pakem yang berlaku di film-film bertema zombie, karakter utama yang harus berusaha untuk survive, serangan zombie, serta munculnya karakter yang membantu karakter utama untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Yang membuat Pontypool menarik, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, adalah premisnya yang berbeda dengan film-film zombie kebanyakan. Sejauh ini, Pontypool merupakan salah satu film bertema zombie dengan premis yang sangat menarik menurut saya. Hal lain yang menarik dari Pontypool adalah sinematografinya. Film ini dibuat dengan budget yang relatif kecil, tentu saja dengan semangat indie yang sangat kental. Celakanya, meskipun budget yang dianggarkan relatif kecil, film ini tidak terkesan murahan. Sutradara sepertinya paham betul bagaimana cara menghasilkan gambar sekelas sineas Hollywood dengan pergerakan kamera serta framing yang sungguh efektif. Nilai lebih lain dari sinematografi di Pontypool adalah kesan mencekam bisa dibangun dengan sangat gagah tanpa harus banyak mengumbar adegan sadis atau gore khas film-film bertema zombie. Nuansa tegang juga ikut diperkuat dengan narasi di sepanjang film. Sebagai film horror/thriller yang menitikberatkan fokus pada bahasa, Pontypool berhasil membuat saya membayangkan situasi yang sedang dihadapi oleh karakter hanya melalui serangkaian kalimat yang diucapkan di sepanjang film, tanpa perlu melihat secara langsung apa yang sedang dialami oleh karakter tersebut.

Meski hadir dengan premis yang sangat menarik, sayangnya bagian terakhir Pontypool agak sedikit lemah. Namun hal ini tidak merusak kualitas film secara keseluruhan. Bila kamu merasa sedikit bosan dengan film-film zombie 'standar', Pontypool bisa dijadikan alternatif yang bisa (((membawa angin segar))) dalam kehidupan sinematik yang nggak sinematik-sinematik amat. Akhir kata saya menyarankan kamu semua untuk memperkaya (((diksi))) dan cobalah untuk menjaga lisan serta menggunakan kata-kata sebijak mungkin. Ya siapa tau kan ya. hhe...  

silakan dapatkan filmnya di sini.