Kamis, 17 April 2014

The Details

Jadi semalam saya baru saja menonton film ini. The Details adalah drama komedi situasi sedikit dark yang tanpa saya duga ternyata cukup menarik untuk disimak. Pada menit-menit awal film ini, Jeff Lang, tokoh utama di film ini yang diperankan dengan cukup bagus oleh Tobey Maguire, memberikan beberapa detail penting dari cerita yang akan disajikan. Scene ini cukup berani menurut saya karena secara tidak langsung film ini memberikan semacam spoiler pada penonton. Terkesan seperti 'bunuh diri', bukan? Tapi justru di sini menariknya karena ternyata cerita tetap dapat dinikmati tanpa kehilangan unsur kejutan (yang mungkin tidak terlalu besar namun tetap mampu membuat saya tersenyum kecil). Secara umum, premis The Details cukup sederhana. Jeff dan Nealy adalah pasangan muda yang dikaruniai satu anak. Karir Jeff bagus. Rumah tangganya bahagia. Kehidupan yang (hampir) sempurna dengan pergaulan sosial yang baik. Jeff berprofesi sebagai dokter. Jeff juga aktif di klub basket dan bersahabat dengan Lincoln, penderita gagal ginjal yang harus menjalani proses cuci darah dan sedang menunggu donor ginjal. Suatu saat, Jeff memutuskan untuk melapisi halaman belakang rumahnya dengan rumput dan melakukan sedikit renovasi pada rumahnya karena Jeff dan Nealy merencanakan untuk memiliki anak lagi sehingga mereka terpaksa menambah satu kamar di rumah mereka. Atas saran istrinya, Jeff mengunjungi rumah tetangganya, seorang wanita 'aneh' bernama Lila, untuk sekadar berbasa basi meminta maaf atas segala keributan yang mungkin akan ditimbulkan oleh proyek renovasi rumahnya. Oh, keluarga Jeff juga sudah berteman cukup lama dengan pasangan Peter dan Rebecca Mazzoni. Rebecca sendiri merupakan seorang psikoterapis yang secara tidak langsung merupakan semacam rekan kerja bagi Jeff. Singkat kata, rumput di halaman belakang rumah Jeff selesai dipasang dan renovasi rumahnya berjalan lancar. Masalah mulai timbul ketika Jeff mengetahui bahwa ada rakun yang merusak rumput di halaman belakang rumahnya. Ternyata, masalah rakun ini menjadi pemicu dari berbagai masalah yang timbul kemudian dalam kehidupan rumah tangga Jeff yang ikut melibatkan orang-orang terdekat dalam kehidupanya mulai dari pasangan Mazzoni, Lincoln, bahkan hingga Lila, tetangga Jeff yang sedikit 'eksentrik' itu. Di antara semua permasalahan yang muncul, Jeff masih berusaha untuk mempertahankan rumah tangganya, menolong orang lain, serta menjadi pribadi yang lebih baik. Berhasilkah dia?
Unsur terkuat dari The Details adalah cerita yang berhasil dikembangkan secara cukup matang. Pada awalnya, kalian mungkin akan berpkir bahwa The Details hanyalah komedi keluarga biasa. Namun, seiring berjalannya cerita, kalian akan menemukan bahwa di balik semua kesederhanaan plot, film ini menawarkan sesuatu yang mungkin akan cukup mengejutkan dan menarik untuk diikuti. Tema The Details mungkin terbilang cukup klise, dimana seseorang dengan predikat 'baik' harus menghadapi berbagai permasalahan yang berpotensi untuk mengubah dirinya. Film-film semacam ini selalu menimbulkan pertanyaan yang sama bagi saya. Apa itu 'orang baik'? Apa yang dibutuhkan untuk menjadi 'orang baik'? Bisakah seseorang selalu berlaku 'baik', tidak 'menyakiti' orang lain? Film ini mungkin tidak bisa memberikan jawaban yang benar-benar memuaskan. Namun setidaknya, film ini bisa memberikan gambaran bahwa terkadang, hal-hal 'tidak baik' bisa menimpa 'orang baik' dan ternyata ada 'kebaikan' dalam hal-hal 'tidak baik' tersebut. Izinkan saya untuk menjadi sedikit klise. Semua tergantung perspektif dan bagaimana kita menyikapi permasalahan dalam kehidupa... BAAANG SIOMAAAY~
Anyway, jika kalian menyukai dark comedy ala Coen brothers, atau drama komedi seperti Henry Poole Is Here atau Everything Must Go, The Details adalah sajian yang mungkin layak kalian nikmati. Cerita yang dikemas secara baik, ilustrasi musik yang cukup pas, akting yang lumayan matang, serta kemasan visual yang cukup menyenangkan. Kalian bisa mendapatkan film ini di sini
           

Minggu, 06 April 2014

A Certain Kind of Death

Dokumenter ini menceritakan tentang 'nasib' jenazah-jenazah tanpa identitas di Los Angeles. Dalam prosedur standar, ketika seseorang meninggal dunia, maka pihak keluarga yang akan bertanggung jawab dan mengurus segala hal yang bersangkutan dengan mendiang mulai dari proses pemakaman hingga barang-barang yang dimiliki oleh mendiang. Namun bagaimana jika orang yang meninggal tersebut tidak memiliki keluarga atau ditemukan lalu tidak ada keluarga yang mengklaim? Tema inilah yang coba diangkat oleh A Certain Kind of Death, sebuah dokumenter yang sedikit kelam dalam menampilkan berbagai fakta seputar proses pengurusan jenazah. Ketika seseorang ditemukan meninggal dan tidak ada keluarga yang mengklaim jasadnya, jenazah tersebut akan menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah yang akan mengurus pemakaman serta menyortir segala barang yang dimiliki oleh mendiang untuk kemudian dilelang. Dokumenter ini menggambarkan dengan cukup detail (dan mungkin agak terlalu teknis sehingga terkesan agak 'tidak berperasaan') tentang proses demi proses yang harus 'dialami' oleh jenazah-jenazah 'tak bertuan' ini. Beberapa bagian mungkin bisa jadi agak mengerikan karena ditampilkan secara terlalu 'apa adanya'. Beberapa bagian lain mungkin berpotensi untuk jadi sangat menyedihkan dan emosional. Gaya visual yang 'dingin' serta penggunaan musik latar yang sangat minim semakin memperkuat kesan 'sendiri' serta keterasingan yang mungkin bertujuan untuk menggambarkan bagaimana jika kamu meninggal dan tidak ada keluarga yang mengurus jasad kamu. Agak membuat depresi memang, namun setidaknya dokumenter ini berhasil menunjukkan kepada saya sesuatu yang mungkin selama ini tidak terlalu saya perhatikan. Adegan penutup di dokumenter ini sangat indah namun juga meninggalkan rasa sedih yang lumayan membuat murung. Dokumenter ini resmi menjadi salah satu dokumenter terbaik yang pernah saya tonton dan mungkin juga sebaiknya kamu tonton. Bila berkenan, tentu saja.        

No One Knows About Persian Cats

Film ini adalah salah satu film Iran kegemaran saya. Mengapa? Karena temanya yang mengangkat kemelut hidup anak muda Iran yang kebetulan mengusung semangat bermusik ala D.I.Y. di negara yang serba dibatasi. Dalam No One Knows About Persian Cats, diceritakan tentang perjuangan sepasang muda-mudi Iran, Negar dan Ashkan, dalam mewujudkan impian mereka untuk membentuk sebuah band (((indie rock))) lalu hijrah ke Inggris demi mendapatkan kehidupan yang lebih 'layak'. Takdir kemudian mempertemukan Negar dan Askhan dengan Nader, mungkin semacam anak muda 'gaul' Iran yang memiliki akses kuat ke dunia musik bawah tanah Iran. Bertiga mereka memulai petualangan mereka dalam mencari personel band sembari mendapatkan surat-surat ilegal untuk hijrah ke Inggris. Sepanjang film kamu akan dibawa mengunjungi berbagai 'tongkrongan' anak band di Iran mulai dari kandang sapi hingga kamar berukuran kecil yang pengap dengan daya listrik terbatas. Seru? Seru! Musik yang muncul pun beragam mulai dari metal hingga garage revival ala The Stroke. Ketiga orang tersebut juga sempat bersinggungan dengan pihak aparat. Negar dan Ashkan diberhentikan polisi di tengah jalan 'cuma' lantaran membawa anjing dalam mobil mereka. Sementara Nader dipaksa untuk membayar denda karena memiliki koleksi DVD bajakan. Ada dua hal utama yang ingin ditampilkan oleh film ini. Pertama, tentang bagaimana perjuangan anak-anak muda Iran dalam menyalurkan minat mereka terhadap musik dan kedua, tentang bagaimana pemerintah Iran berusaha untuk mengekang (((kebebasan berekspresi))). Salah satu fakta menarik, film ini sendiri dibuat tanpa izin (yang mana mungkin merupakan suatu hal yang lumrah bagi beberapa sutradara besar Iran) yang semakin memperkuat semangat anti pemerintah yang diusung oleh film ini. Jalinan asmara yang terbentuk antara Negar dan Ashkan juga merupakan salah satu hal yang menarik untuk diikuti dalam film ini. Pada beberapa bagian, komedi satir disematkan dalam porsi yang pas dan terkesan natural. Terlepas dari muatan politik yang disampaikan secara sangat halus, film ini mampu menunjukkan seberapa besar perubahan yang dibawa oleh musik dalam kehidupan beberapa orang dan seberapa besar pengorbanan yang akan dilakukan oleh beberapa orang yang (kebetulan) mencintai musik. Jika kamu menyukai musik dan ingin tahu bagaimana kehidupan anak-anak muda Iran yang menyukai musik, film yang ditampilkan dengan gaya faux-documentary ini mungkin bisa memberikan gambaran sekilas tentang anak muda Iran dan musik yang mereka sukai. Mungkin tidak terlalu akurat dan mendetail, namun setidaknya bisa menjadi semacam perkenalan yang cukup berkesan. Apaan. Hhe...

 

In the Heat of the Night

Dari beberapa film bertema investigasi yang pernah saya tonton, In the Heat of the Night adalah salah satu film bertema investigasi dengan karakter yang sangat menarik untuk disimak. Film ini memasukkan unsur rasial yang cukup kental ke dalam plot cerita yang kemudian diolah dengan sangat menarik. Virgil Tibbs adalah seorang detektif handal spesialis kasus pembunuhan yang secara tidak sengaja tertinggal kereta saat harus kembali ke Philadelphia. Saat dia menunggu kedatangan kereta selanjutnya di stasiun Sparta yang lumayan terpencil, beberapa polisi mendatanginya dan mencurigai Tibbs sebagai pelaku pembunuhan seorang pengusaha besar yang kebetulan singgah di kota kecil tersebut. Adegan pembuka ini cukup intens. Mengapa? Tak lain karena Tibbs adalah detektif kulit hitam dan pengusaha yang terbunuh tersebut adalah warga kulit putih. Di lain pihak, aparat kepolisian yang kebetulan juga berkulit putih, terutama kepala kepolisan Gillespie, sudah terlanjur berprasangka buruk pada Tibbs hanya karena warna kulitnya, tanpa mengetahui fakta bahwa Tibbs sebenarnya adalah seorang detektif dengan pengalaman yang mungkin jauh lebih banyak dibandingkan mereka. Kedua pihak saling bersitegang hingga akhirnya Tibbs mengungkapkan fakta tentang identitasnya, dengan cara yang cukup menohok. Ironisnya, Gillespie yang awalnya memandang Tibbs sebelah mata atas dasar rasial, justru meminta bantuan Tibbs untuk menangkap pelaku pembunuhan pengusaha tersebut. Secara garis besar, kasus pembunuhan yang ditampilkan dalam film ini tidak terlalu menuntut kamu untuk fokus dan ikut menebak-nebak siapa pelakunya. Yang jadi fokus utama cerita serta yang layak untuk diikuti justru karakter Tibbs dan Gillespie yang berseberangan. Tibbs adalah tipe detektif yang sangat metodis. Karakternya terkesan dingin, nyaris tanpa ekspresi, dan sangat serius. Di lain pihak, Gillespie memiliki karakter yang sedikit sok tau, penuh prasangka membabi buta, serta sedikit angkuh. Menariknya, sepanjang cerita bergulir, kedua karakter ini sama-sama berkembang hingga akhirnya sampai ke titik dimana Gillespie menjadi agak bijak sementara Tibbs menjadi sedikit lepas kendali. Unsur rasial yang diangkat ke dalam cerita dapat ditampilkan secara matang. Cerita dikembangkan secara natural dengan intensitas yang dibangun perlahan. Twist yang muncul pun tidak terlalu berlebihan namun tetap terasa mengena. Film ini mungkin tidak se'heboh' Mississippi Burning namun yang jelas memiliki pengembangan karakter yang lebih baik dan tidak se-dua-dimensi Mississippi Burning. Karakter yang ditampilkan dalam area abu-abu terasa lebih hidup dan lebih dapat dipercaya. Dalam In the Heat of the Night, diperlihatkan bahwa protagonis pun memiliki batas yang bisa dilewatinya karena faktor eksternal. Bagai seseorang yang tenang namun kemudian menjadi gelisah saat mengalami malam hari yang teramat panas. Film ini bisa kalian dapatkan di sini.       

Jumat, 04 April 2014

The Good Heart

Islandia memang cukup populer akhir-akhir ini. Dan sebagai (((anak gawl masa kini))), saya juga merasa sudah seharusnya saya ikut membicarakan tentang Islandia. Film The Good Heart adalah film drama sedikit pahit yang disutradarai oleh Dagur Kári, seorang sineas asal Islandia. Meskipun disutradarai oleh orang Islandia, film ini sendiri mengambil setting di kota New York. Sejatinya, film ini memiliki plot yang (lagi-lagi) cukup sederhana. Diceritakan seorang pemilik bar berusia hampir uzur bernama Jacques. Layaknya kebanyakan orang yang sudah tua, Jacques memiliki karakter yang sedikit kasar nan penggerutu. Di sisi lain, Jacques juga ingin memiliki seseorang yang bisa mengurus barnya setelah dia mati kelak. Terlebih Jacques memiliki riwayat kesehatan yang cukup buruk dengan penyakit jantung yang dideritanya. Berhubung Jacques tidak memiliki sanak saudara, takdir pun akhirnya mempertemukan Jacques dengan seorang pemuda putus asa bernama Lucas yang baru saja gagal melakukan percobaan bunuh diri. Lucas pun diboyong Jacques bekerja di barnya untuk dipersiapkan sebagai pemilik bar ketika dia wafat kelak. Premisnya kira-kira demikian. Walau terkesan agak klise, namun harus saya akui premis seperti ini berpotensi untuk menjadi menarik. Karakter Jacques dan Lucas sungguh berseberangan. Sepanjang film, kamu bisa melihat bagaimana kedua orang ini memandang dan memperlakukan sesuatu secara berbeda. Cerita semakin kompleks ketika seorang perempuan muda bernama April 'diangkat' Lucas menjadi semacam asisten. Film ini ditampilkan dengan cukup sederhana dari sisi visual. Secara teknis, saya suka pemilihan warna yang bernuansa sedikit kelam. Pengembangan karakter adalah salah satu kekuatan terbesar dalam The Good Heart. Meski konflik yang diangkat dalam cerita mungkin terkesan agak sedikit klise, namun mampu dikemas dengan baik dan cukup berkesan. Pada beberapa bagian, potensi untuk membuat mata kamu menjadi sedikit berkaca-kaca lumayan kuat. Belum lagi dengan twist kecil yang mungkin berdampak cukup besar pada bagian akhir film. Mengikuti interaksi antara ketiga karakter utama serta konsekuensi yang muncul setelahnya bisa jadi menimbulkan semacam perasaan gundah yang sama seperti saat kamu mendengarkan tembang-tembang post-rock khas Islandia. Jika kamu merasa terlalu sedih sehabis menonton film ini, mungkin kamu bisa keluar rumah sejenak, menatap birunya langit, sambil bersenandung, "Aislaaaaaaaaaan~"     

I Always Wanted to Be a Gangster

Beberapa film Perancis memiliki kecenderungan untuk menimbulkan kesan "Huh?" yang asyik. Di tangan (beberapa) sineas Perancis, plot sederhana bisa menjadi sesuatu yang istimewa dengan sedikit bumbu 'kebetulan' dan sense of humor yang sedikit 'aneh'. Film ini contohnya. Jika dilihat dari judul serta posternya yang 'sangar', kamu mungkin berpikir film ini akan bergaya layaknya film-film Tarantino. Untungnya tidak. Film ini sesungguhnya adalah film komedi agak 'gimana-gimana-gimana' dan mungkin kesan itu pula yang ingin ditampilkan lewat poster film. Plot I Always Wanted to Be a Gangster cukup sederhana, tentang perjumpaan beberapa karakter utama di sebuah cafetaria yang letaknya cukup terpencil. Otomatis, setting cerita hanya berkutat di satu lokasi saja. Minimalis memang. Namun cukup efektif. Jauh dari kesan membosankan. Oya, sebelum melangkah terlalu jauh, saya informasikan bahwa film ini ditampilkan dalam format hitam putih. Jadi, sekali lagi, bila kamu termasuk ke dalam golongan penonton yang agak 'alergi' dengan format hitam putih, kamu mungkin butuh kesabaran ekstra untuk menikmati film ini. Ada dua tokoh utama di film ini, Suzi, pelayan cafetaria yang cantik dan Gino, seorang perampok tanpa senjata yang masuk ke dalam cafetaria dengan gaya yang cukup awkward. Kedua karakter utama ini cukup kuat dan diperankan dengan sangat lihai oleh Anna Mouglalis dan Edouard Baer. Lalu ada juga karakter-karakter lain yang sama menonjol dan menariknya yang singgah di cafetaria tersebut dan menambah citarasa tersendiri dalam plot.Secara garis besar, cerita dalam I Always Wanted to Be a Gangster dapat dibagi ke dalam empat sub-plot yang saling disatukan oleh kesamaan tempat kejadian, cafetaria yang letaknya terpencil. Kekuatan terbesar dari film ini adalah dialog serta interaksi antar karakter yang berpotensi menimbulkan humor yang terasa cukup unik. Film ini mungkin tidak bisa membuat kamu tertawa terbahak-bahak. Mungkin efeknya hanya sebatas senyum kecil atau gumaman "Apa sih?" yang terasa begitu syahdu. Sisi teknis juga cukup layak diapresiasi. Gaya pengambilan gambar serta komposisi musik dan score yang digunakan pada film cukup berkesan. Pemilihan format hitam putih juga saya rasa sebagai keputusan yang tepat. I Always Wanted to Be a Gangster adalah film 'sederhana' dengan karakter-karakter yang kuat, gambar-gambar yang 'cantik', serta komedi yang mungkin sedikit naif.