Sepanjang perjalanan saya menonton, setidaknya ada dua cara
yang biasa digunakan untuk menggambarkan kengerian lewat media film. Pertama,
secara eksplisit. Kebrutalan dan adegan-adegan sadis ditampilkan sedemikian
rupa untuk menggugah rasa takut di benak penonton. Lalu ada pula film-film yang
berusaha menampilkan kengerian dengan cara yang lebih ‘sopan’, minim kekerasan,
dan membiarkan imajinasi penonton yang bekerja membangun sulur-sulur kecemasan di otak.
Michael jatuh pada kategori kedua.
Premis film ini sederhana saja. Tokoh utama, yang kebetulan
juga antagonis, adalah seorang pria bernama Michael. Sepintas Michael
terlihat seperti pria pada umumnya. Karirnya sebagai karyawan di sebuah
perusahaan asuransi tampak cukup gemilang. Penampilannya juga tak bisa dibilang
jelek, meski tak terlalu tepat pula bila disebut menarik. pria biasa-biasa
saja. Dengan kehidupan yang biasa-biasa saja.
Michael tinggal sendirian di rumahnya. Sejak menit-menit
awal film, kesan kesepian sudah dengan sengaja disematkan pada karakter ini. Tapi
itu bukanlah suatu masalah. Pria kesepian tentu ada banyak sekali jumlahnya di luar
sana. Pertanyaan mulai muncul ketika adegan Michael membuka pintu basement
rumahnya. Pintu itu dilapisi busa yang berfungsi sebagai peredam suara. Ah,
tapi ini juga tidak terlalu aneh. Beberapa orang mungkin juga melakukan hal
yang sama pada pintu basement rumah mereka. Adegan dilanjutkan dengan Michael yang sedang
sibuk menyiapkan meja makan. Sepertinya dia akan makan malam dengan seseorang. Kekasihnya,
mungkin? Adegan lalu bergulir memperlihatkan Michael yang kembali turun ke
basement. Kali ini dia membuka sebuah pintu yang terlihat memiliki pengaman
ekstra. Pintu terbuka dan memperlihatkan ruang yang gelap di baliknya. Dari kegelapan,
muncullah sesosok anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun. Siapa anak ini?
mengapa dia berada di basement?
Michael adalah seorang pedofil. Dia juga seorang sosiopat. Dan
anak laki-laki yang disekapnya di basement adalah sarana pelampiasan hasrat
seksualnya.
Sudah. Premisnya cuma begitu saja. Sederhana sekali. Tapi film
ini tidak sesederhana kelihatannya. Ada begitu banyak detail yang membuat film
ini menjadi sangat kuat. Fokus utama film tentu saja adalah Michael sendiri. Pemilihan
aktor yang memerankan karakter ini saya nilai sungguh tepat. Ekspresi wajah, gestur,
serta intonasi bicara sang aktor berhasil menghidupkan karakter Michael secara
sempurna. Sepanjang film, kalian akan disuguhkan beberapa detail menarik
mengenai Michael. Tentang bagaimana dia terkadang bisa menjadi sangat otoriter
pada hal-hal remeh. Tentang bagaimana dia dengan mudahnya mengabaikan rekan
kerjanya yang berbagi meja dengannya ketika menyantap makan siang. Tentang betapa
impulsifnya dia saat mencoba menggali lubang di tengah hutan hanya lantaran ‘anak
asuh’nya terserang demam. Dan masih banyak lagi. Film ini tentang Michael,
seorang pria dengan perhatian yang sangat besar pada detail, sangat terorganisir,
dan sangat ‘penyabar’.
Lalu bagaimana dengan anak laki-laki yang ‘diasuh’ oleh
Michael? Jika kalian membayangkan bahwa kamar di mana anak tersebut disekap
sebagai sebuah kamar yang kotor, pengap, dan menyerupai kandang babi, kalian
mungkin akan sedikit kecewa. Kamar itu bersih. Perabotannya lengkap. Anak itu
bahkan memiliki crayon dan buku-buku di kamarnya. Michael, terlepas dari
penyimpangannya, benar-benar mengurus anak itu secara layak. Anak itu aset bagi
Michael. Dan dia sadar betul bahwa dia harus menjaga asetnya sebaik mungkin.
Penonton kemudian tiba pada suatu kenyataan yang cukup
mengerikan, mematahkan hati, sekaligus membuat geram. Interaksi antara Michael
dan anak laki-laki itu menjadi kian kompleks. Di satu sisi, anak laki-laki
tersebut menjadi objek seksual bagi Michael. Namun di sisi lain, anak tersebut
ternyata mulai menganggap Michael sebagai figur orang tua. Kedekatan yang
berjarak ini sangat mengganggu. Sekali lagi, sangat menggangu.
Film ini ditampilkan dengan gaya minimalis. Plot berjalan
cukup lamban. Nuansa dingin dan terisolasi berhasil dibangun secara efektif melalui
pergerakan kamera yang minim, nyaris stagnan. Hal ini semakin diperkuat dengan
minimnya ilustrasi musik yang digunakan sepanjang film. Sutradara mengajak
penonton untuk mengikuti keseharian Michael yang cenderung membosankan namun sekaligus
dipenuhi dengan detail-detail yang sungguh menarik untuk disimak dalam rangka
memahami karakter ini. Di satu sisi, sutaradara berusaha menyuguhkan karakter
Michael sedekat mungkin kepada penonton. Di sisi lain, sutradara secara bersamaan
juga berusaha untuk menjaga jarak antara karakter Michael dengan penonton. Sutradara
seolah-olah ingin menyampaikan, hei, kenalin, ini Michael. Kalian harus
mengenal dia lebih dekat. Tapi jangan terlalu dekat, kalian mungkin tidak akan
menyukai apa yang kalian temukan nantinya. Sekali lagi, kedekatan yang
berjarak.
Seperti itu kira-kira.
Yang membuat film ini jadi mengerikan justru adalah
detail-detail yang tidak ditampilkan di layar. Tidak ada adegan yang mengumbar
kekerasan fisik secara langsung pada sang anak, termasuk pencabulan. Tapi penonton
tahu betul apa yang sebenarnya terjadi. Bila ingin dianalogikan, ketakutan yang
dimunculkan lewat film ini mungkin sama dengan rasa takut yang kalian rasakan
ketika mendengar lolongan anjing di tengah malam. Lolongan anjing itu mungkin aslinya
biasa saja. Namun mengetahui mitos (atau fakta?) bahwa lolongan itu merupakan
pertanda kehadiran makhluk halus, hal itulah yang memupuk rasa takut. Michael
berusaha menunjukkan monster mengerikan apa yang bersembunyi di balik kehidupan
seorang pria yang terlihat begitu normal. Dan hal itu berhasil. Sangat berhasil.
Mengingat kemasan film yang sangat minimalis dan berpotensi
membosankan, saya sarankan kalian menonton film ini ketika benar-benar sedang
berada dalam kondisi yang mendukung. Ending film ini sendiri ditampilkan secara
sangat menarik menurut saya. Michael adalah film yang cukup ‘mengganggu’ yang
digarap dengan begitu piawai dan mungkin bisa membuka diskusi yang menarik
sesudahnya. Ingin mengenal Michael lebih jauh? Silakan dapatkan filmnya di sini.