Senin, 31 Maret 2014

Fur: An Imaginary Portrait of Diane Arbus

Salah satu genre film yang cukup menarik menurut saya adalah biografi. Ada beberapa film bertema biografi yang untungnya sempat saya tonton sejauh ini dan menurut saya cukup atau bahkan sangat menarik. Salah satunya adalah film ini, Fur: An Imaginary Portrait of Diane Arbus, yang untuk selanjutnya akan saya sebut sebagai Fur saja. Fur menceritakan tentang fragmen dalam kehidupan seorang wanita bernama Diane Arbus. Sebelum menonton film ini, saya tidak mengenal siapa itu Diane Arbus. Jadi bisa dibilang saya adalah penonton awam pada saat menonton Fur. Sebagai penonton awam yang tidak mengenal siapa itu Diane Arbus, film biografi ini saya nilai cukup unik, baik caranya bertutur maupun segala visualisasi yang ditampilkan sepanjang film. Ketika akhirnya saya mengetahui siapa itu Diane Arbus, saya baru paham mengapa visualisasi serta plot di biografi ini dikemas secara begitu artistik. Diane Arbus diperankan dengan sangat gemilang oleh Nicole Kidman. Cukup berhasil menurut saya. Sementara itu, lawan mainnya adalah Robert Downey Jr. yang memerankan karakter bernama Lionel Sweeney, juga dengan kualitas yang layak dipuji. Alur film ditampilkan dengan cukup lambat, namun enak untuk diikuti, setidaknya begitulah menurut saya. Nuansa yang coba dibangun adalah perasaan ganjil sekaligus rasa ingin tahu berbalut sedikit melankolia dan bahagia pada saat yang bersamaan. Hal ini diperkuat dengan teknik pengambilan gambar, pemilihan warna, serta ilustrasi musik yang ditampilkan dalam film ini. Cukup kompleks memang dan mungkin kompleksitas ini sengaja ditampilkan untuk menggambarkan keunikan yang dituangkan Arbus lewat karya-karya fotografinya. Interaksi antara Arbus dan Sweeney pun sungguh nikmat untuk disimak. Terkadang yang berbicara hanyalah gestur dan ekspresi mereka. Sedikit misterius, namun menyenangkan. Bagi penonton yang belum sempat mengenal sosok Arbus, Fur bisa menjadi sebuah film biografi yang cukup unik tentang interaksi antara dua manusia yang digambarkan secara sedikit 'sureal'. Di lain pihak, penonton yang sudah mengenal sosok Arbus, bisa jadi menganggap film ini sebagai sesuatu yang kurang 'akurat', sebagaimana yang mungkin dialami oleh sebagian besar film-film bertema biografi lainnya. Terlepas dari polemik tersebut, Fur menurut saya adalah sebuah film yang cukup menarik yang sangat sayang untuk dilewatkan. Bila kalian menyukai film-film seperti Eternal Sunshine of the Spotless Mind, A Beautiful Mind, atau Pollock, Fur mungkin akan menjadi sajian yang cukup memikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar