Jumat, 04 April 2014

The Good Heart

Islandia memang cukup populer akhir-akhir ini. Dan sebagai (((anak gawl masa kini))), saya juga merasa sudah seharusnya saya ikut membicarakan tentang Islandia. Film The Good Heart adalah film drama sedikit pahit yang disutradarai oleh Dagur Kári, seorang sineas asal Islandia. Meskipun disutradarai oleh orang Islandia, film ini sendiri mengambil setting di kota New York. Sejatinya, film ini memiliki plot yang (lagi-lagi) cukup sederhana. Diceritakan seorang pemilik bar berusia hampir uzur bernama Jacques. Layaknya kebanyakan orang yang sudah tua, Jacques memiliki karakter yang sedikit kasar nan penggerutu. Di sisi lain, Jacques juga ingin memiliki seseorang yang bisa mengurus barnya setelah dia mati kelak. Terlebih Jacques memiliki riwayat kesehatan yang cukup buruk dengan penyakit jantung yang dideritanya. Berhubung Jacques tidak memiliki sanak saudara, takdir pun akhirnya mempertemukan Jacques dengan seorang pemuda putus asa bernama Lucas yang baru saja gagal melakukan percobaan bunuh diri. Lucas pun diboyong Jacques bekerja di barnya untuk dipersiapkan sebagai pemilik bar ketika dia wafat kelak. Premisnya kira-kira demikian. Walau terkesan agak klise, namun harus saya akui premis seperti ini berpotensi untuk menjadi menarik. Karakter Jacques dan Lucas sungguh berseberangan. Sepanjang film, kamu bisa melihat bagaimana kedua orang ini memandang dan memperlakukan sesuatu secara berbeda. Cerita semakin kompleks ketika seorang perempuan muda bernama April 'diangkat' Lucas menjadi semacam asisten. Film ini ditampilkan dengan cukup sederhana dari sisi visual. Secara teknis, saya suka pemilihan warna yang bernuansa sedikit kelam. Pengembangan karakter adalah salah satu kekuatan terbesar dalam The Good Heart. Meski konflik yang diangkat dalam cerita mungkin terkesan agak sedikit klise, namun mampu dikemas dengan baik dan cukup berkesan. Pada beberapa bagian, potensi untuk membuat mata kamu menjadi sedikit berkaca-kaca lumayan kuat. Belum lagi dengan twist kecil yang mungkin berdampak cukup besar pada bagian akhir film. Mengikuti interaksi antara ketiga karakter utama serta konsekuensi yang muncul setelahnya bisa jadi menimbulkan semacam perasaan gundah yang sama seperti saat kamu mendengarkan tembang-tembang post-rock khas Islandia. Jika kamu merasa terlalu sedih sehabis menonton film ini, mungkin kamu bisa keluar rumah sejenak, menatap birunya langit, sambil bersenandung, "Aislaaaaaaaaaan~"     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar