Ya seperti biasa, saya kurang pandai berbasa-basi membuka obrolan. Jadi, ya, kita langsung saja ke topik bahasan malam ini.
Beberapa saat yang lalu saya baru saja selesai menonton sebuah film berjudul Virgin Mountain, sebuah drama yang diluar dugaan ternyata sangat menguras perhatian serta emosi saya selama kurang lebih satu setengah jam. Berikut akan saya sampaikan sedikit kesan yang muncul setelah selesai menyakskan film ini.
Tokoh utama di film ini adalah seorang pria berusia 40-an tahun yang bernama Fusi. Fusi memiliki tubuh yang berukuran cukup besar. Gayanya agak sedikit canggung, cenderung pendiam, dan tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang lain. Fusi jarang bicara dan bila bicara dia cenderung mengeluarkan kalimat-kalimat pendek dengan intonasi yang terkesan tidak terlalu antusias. Fusi juga memiliki kecenderungan untuk menghindari konflik. Jadi ketika dia diganggu oleh rekan kerjanya, Fusi lebih memilih pergi ketimbang meladeni gangguan itu. Fusi juga jarang sekali menunjukkan emosinya. Dia hampir tidak pernah terlihat tersenyum, apalagi sampai tertawa.
Rutinitas Fusi sehari-hari |
Fusi. Seorang pria berusia 40-an tahun yang masih perjaka dan tak kunjung menikah dan tetap tinggal serumah dengan ibunya.
Pacar ibunya sedang memberikan tips relationship pada Fusi |
Selain Hera, Fusi juga berkenalan dengan seorang wanita bernama Sjofn. Fusi mengenal Sjofn di tempat kursus dansa saat Sjofn meminta bantuannya untuk mengantarkanya pulang karena waktu itu cuaca sedang buruk. Sesampainya di rumah Sjofn, keduanya lalu berpisah dengan cara yang lumayan aneh.
Yha~ |
Tanggapan manajer Sjofn terhadap masalah yang dialami oleh wanita itu |
Sekilas, plot Virgin Mountain sedikit banyak mengingatkan saya pada Punch-Drunk Love, namun dengan kadar kesuraman yang sedikit lebih banyak. Film ini memang memiliki tema yang cukup kelam. Namun di balik itu, film ini sepertinya ingin mempertanyakan, apa itu bahagia? Apakah orang seperti Fusi yang kehidupannya dipenuhi dengan hal-hal monoton tidak bisa merasakan bahagia? Apakah kita bisa benar-benar merasa bahagia hanya dengan membuat orang lain bahagia? Lalu ketika yang kita dapatkan hanya kekecewaan demi kekecewaan, apakah kita masih punya kesempatan untuk membuat diri kita sendiri bahagia?
Kredit terbesar pantas diberikan pada Gunnar Jonsson, aktor yang menghidupkan karakter Fusi. Ekspresi wajah serta intonasi suaranya benar-benar bisa menciptakan kesan yang mendalam. Di satu titik, saya merasa kasihan pada Fusi. Di titik lain saya merasa sedikit sebal. Ah, bodoh sekali pria ini, begitu gerutu saya. Namun kemudian saya terdiam pada beberapa bagian. Pria ini hanya ingin bahagia. Mungkin dia pantas dikasihani. Mungkin apa yang dilakukannya bodoh. Tapi setidaknya dia memperjuangkan sesuatu. Pada bagian akhir ada sedikit kejutan kecil dari Fusi. Hanya sekilas. Tapi berhasil menjadi penutup yang sangat baik.
Plot dan dialog ditampilkan secara natural. Pada beberapa bagian anda bisa menemukan dry humor khas film-film Eropa.
(((Kurt Cowbrain))) |
Silakan dapatkan filmnya di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar