Sabtu, 23 April 2016

Virgin Mountain

Hai. Halo. Lama tak bersua di sini, ya. Hhe hhe. (Kayak ada yang nyariin aja~)

Ya seperti biasa, saya kurang pandai berbasa-basi membuka obrolan. Jadi, ya, kita langsung saja ke topik bahasan malam ini.
Beberapa saat yang lalu saya baru saja selesai menonton sebuah film berjudul Virgin Mountain, sebuah drama yang diluar dugaan ternyata sangat menguras perhatian serta emosi saya selama kurang lebih satu setengah jam. Berikut akan saya sampaikan sedikit kesan yang muncul setelah selesai menyakskan film ini.

Tokoh utama di film ini adalah seorang pria berusia 40-an tahun yang bernama Fusi. Fusi memiliki tubuh yang berukuran cukup besar. Gayanya agak sedikit canggung, cenderung pendiam, dan tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang lain. Fusi jarang bicara dan bila bicara dia cenderung mengeluarkan kalimat-kalimat pendek dengan intonasi yang terkesan tidak terlalu antusias. Fusi juga memiliki kecenderungan untuk menghindari konflik. Jadi ketika dia diganggu oleh rekan kerjanya, Fusi lebih memilih pergi ketimbang meladeni gangguan itu. Fusi juga jarang sekali menunjukkan emosinya. Dia hampir tidak pernah terlihat tersenyum, apalagi sampai tertawa.
Rutinitas Fusi sehari-hari
Kehidupan Fusi hanya berisi rangkaian rutinitas yang itu-itu saja. Dia bekerja pada bagian bongkar muat di bandara. Setiap jumat malam dia akan makan malam sendirian di restoran langganannya dan selalu memesan menu yang sama. Setelah itu dia akan duduk di dalam mobilnya yang diparkir di tepi sungai, menelpon stasiun radio favoritnya, lalu meminta penyiar (yang sudah sangat hapal dengan suaranya) untuk memutarkan lagu metal kesukaannya. Waktu luangnya diisi dengan bermain model Perang Dunia II bersama teman satu-satunya, Mordur, atau bermain mobil remote control di halaman apartemen.

Fusi. Seorang pria berusia 40-an tahun yang masih perjaka dan tak kunjung menikah dan tetap tinggal serumah dengan ibunya.

Pacar ibunya sedang memberikan tips relationship pada Fusi
Kehidupan Fusi mulai sedikit berubah ketika dia bertemu dengan Hera, seorang anak perempuan yang tinggal di gedung apartemen yang sama dengannya. Keduanya mulai sering berinteraksi hingga akhirnya terjadi sesuatu yang berada di luar kendali Fusi.

Selain Hera, Fusi juga berkenalan dengan seorang wanita bernama Sjofn. Fusi mengenal Sjofn di tempat kursus dansa saat Sjofn meminta bantuannya untuk mengantarkanya pulang karena waktu itu cuaca sedang buruk. Sesampainya di rumah Sjofn, keduanya lalu berpisah dengan cara yang lumayan aneh.
Yha~
Fusi mulai merasa tertarik dengan Sjofn dan memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih intens dengan wanita itu. Sayangnya, ternyata jalan Fusi untuk memenangkan hati Sjofn tidak semulus yang dibayangkannya. Sjofn ternyata memiliki masalah yang menyebabkannya mengalami kesulitan untuk menjalani kehidupannya serta menjalin hubungan dengan orang lain. Masalah ini bahkan sampai menyebabkan Sjofn berhenti dari pekerjaannya. Untuk menyelamatkan pekerjaan Sjofn, Fusi menawarkan diri untuk menggantikan wanita itu bekerja sampai Sjofn pulih kembali.
Tanggapan manajer Sjofn terhadap masalah yang dialami oleh wanita itu
Bagaimana hubungan Fusi dan Sjofn selanjutnya? Apakah Fusi, seorang pria dengan kehidupan yang cukup desperate bisa membantu wanita depresif seperti Sjofn?

Sekilas, plot Virgin Mountain sedikit banyak mengingatkan saya pada Punch-Drunk Love, namun dengan kadar kesuraman yang sedikit lebih banyak. Film ini memang memiliki tema yang cukup kelam. Namun di balik itu, film ini sepertinya ingin mempertanyakan, apa itu bahagia? Apakah orang seperti Fusi yang kehidupannya dipenuhi dengan hal-hal monoton tidak bisa merasakan bahagia? Apakah kita bisa benar-benar merasa bahagia hanya dengan membuat orang lain bahagia? Lalu ketika yang kita dapatkan hanya kekecewaan demi kekecewaan, apakah kita masih punya kesempatan untuk membuat diri kita sendiri bahagia?

Kredit terbesar pantas diberikan pada Gunnar Jonsson, aktor yang menghidupkan karakter Fusi. Ekspresi wajah serta intonasi suaranya benar-benar bisa menciptakan kesan yang mendalam. Di satu titik, saya merasa kasihan pada Fusi. Di titik lain saya merasa sedikit sebal. Ah, bodoh sekali pria ini, begitu gerutu saya. Namun kemudian saya terdiam pada beberapa bagian. Pria ini hanya ingin bahagia. Mungkin dia pantas dikasihani. Mungkin apa yang dilakukannya bodoh. Tapi setidaknya dia memperjuangkan sesuatu. Pada bagian akhir ada sedikit kejutan kecil dari Fusi. Hanya sekilas. Tapi berhasil menjadi penutup yang sangat baik.

Plot dan dialog ditampilkan secara natural. Pada beberapa bagian anda bisa menemukan dry humor khas film-film Eropa.

(((Kurt Cowbrain)))
Seperti juga di film lainnya, The Good Heart, sutradara Dagur Kari sangat berhasil mengolah interaksi manusia di Virgin Mountain. Konflik-konflik sederhana yang mungkin sudah biasa kita jumpai di film-film maupun di dunia nyata bisa ditampilkan sebagai suatu sajian istimewa yang mungkin agak sulit untuk dilupakan.

Silakan dapatkan filmnya di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar