Kamis, 03 September 2015

The Time that Remains

Suatu hari saya dianjurkan oleh Dhery Moelz untuk menonton sebuah film ketika sedang berbalas sahutan dengan beliau lewat Twitter. Film yang dimaksud adalah The Time that Remains, sebuah drama semi-biografi tentang seorang sutradara Palestina bernama Elia Suleiman. Sebelumnya saya belum pernah mendengar nama sutradara yang satu ini. Pun saya belum pernah mendengar judul film yang dianjurkan oleh Dhery. Setelah mengunjungi laman IMDb film yang dimaksud, saya merasa tertarik lalu segera mencari film tersebut di lapak langganan. Di antara kesibukan dengan urusan duniawi beberapa hari ini, akhirnya tadi siang saya berkesempatan untuk menonton film yang ternyata, di luar dugaan, sungguh indah dan menyenangkan.

The Time that Remains dimulai dengan mengambil latar kehidupan rakyat Palestina pada tahun 1948, tahun di mana negara Israel terbentuk. Jadi tak salah memang bila IMDb kemudian memasukkan film ini ke dalam genre history atau sejarah. Cerita berfokus pada seorang pemuda bernama Fuad yang tergabung dalam gerakan perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan militer Israel. Paruh kedua film menceritakan tentang Fuad yang sudah berkeluarga, memiliki seorang istri dan seorang anak laki-laki bernama Elia (sang sutradara). Pada bagian ini dipaparkan kehidupan keluarga Fuad sebagai golongan minoritas (rakyat Palestina yang memilih tetap tinggal di wilayah kekuasaan Israel). Pada paruh ketiga diceritakan Elia yang sudah tumbuh dewasa menjadi seorang pemuda tampan yang pendiam. Pada paruh keempat diceritakan Fuad akhirnya meninggal dunia, meninggalkan istrinya yang sudah berusia lanjut dan Elia yang sudah cukup berumur. Kira-kira seperti itulah plot yang diangkat di The Time that Remains.

Sekilas, plot film ini terkesan ‘berat’. Sejarah konflik Israel-Palestina. Yang terbayang di benak pastilah korban yang berjatuhan, adegan-adegan menyedihkan yang menyayat hati, serta propaganda politik yang kental. Namun yang disajikan di layar sungguh mengejutkan. Elia memaparkan plot yang ‘berat’ ini dengan menggunakan pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang lebih personal dan humanis. Tentu saja Elia masih menyelipkan agenda politis pada beberapa bagian film. Ini film tentang Israel-Palestina, bagaimana mungkin tidak politis. Menariknya, Elia memasukkan unsur politik dengan cara yang sangat halus dan cerdas, tidak menghakimi, tidak terkesan meminta belas kasihan, dan dikawinsilangkan dengan unsur humor yang cukup efektif. Dalam pandangan saya, Elia seperti berusaha untuk melihat sejarah kelam ini sebagai suatu pengalaman yang ‘pantas’ untuk ditertawakan. Bahwa selalu ada hal-hal yang menggelitik bahkan dari peristiwa yang paling mengerikan sekalipun. The Time that Remains mungkin bisa dianggap sebagai usaha Elia untuk menggambarkan konflik Israel-Palestina pada penonton awam (seperti saya) yang mungkin tidak tahu atau kurang paham mengenai subjek ini. Dengan pendekatan yang lebih personal, emosi yang kuat, serta memasukkan gaya bertutur yang komikal, usaha Elia sepertinya tidak sia-sia.

Ada banyak sekali bagian dari film ini yang membuat saya tertawa, lalu terdiam beberapa saat, lalu tersadar tentang betapa getir potret sesungguhnya dari kejadian-kejadian yang Elia angkat, terutama pada paruh pertama, kedua, serta keempat film ini. Pada satu bagian di paruh kedua, ditampilkan satu karakter yaitu seorang laki-laki tua yang menjadi tetangga Fuad. Laki-laki tua ini sudah seperti kehilangan akal sehatnya, tenggelam dalam konsumsi alkohol yang berlebihan, akibat kondisi yang terbentuk dari konflik. Laki-laki tua ini memiliki kebiasaan menyiramkan bensin ke sekujur tubuhnya dengan tujuan untuk membakar dirinya sendiri. Fuad juga punya kebiasaan yaitu mencegah laki-laki tua ini untuk menuntaskan niatnya. Adegan ini ditampilkan beberapa kali seakan-akan sudah menjadi bagian yang lumrah dari keseharian keluarga Fuad. Lalu ada juga suatu ilustrasi menarik yang ditampilkan di paruh keempat. Di bagian ini, sebuah tank Israel terparkir tepat di depan sebuah rumah. Lalu pemilik rumah keluar dari pintu depan dan melangkah menyeberangi jalan untuk membuang sampah ke tempat sampah. Gerakan si pemilik rumah ditimpali dengan gerakan laras tank yang bergerak perlahan mengikuti gerakan sang pemilik rumah. Pemilik rumah menyeberang jalan lagi untuk kembali ke rumahnya. Laras tank ikut bergerak. Pemilik rumah menerima panggilan dari telepon genggamnya lalu berbalik melangkah ke tengah jalan. Laras tank lagi-lagi ikut bergerak. Sangat komikal. Tapi seperti yang sudah saya sampaikan di atas, dibalik semua kelucuan ini, Elia tetap berusaha untuk menyampaikan sesuatu pada penonton.

Dari segi teknis, film ini juga nyaris sempurna. Komposisi gambar yang diciptakan serta pemilihan sudut pengambilan gambar dan framing menciptakan adegan-adegan puitis yang juga terkadang terkesan agak sureal. Emosi yang kuat bisa terasa di beberapa adegan tanpa kehadiran dialog sekalipun. Hal ini ikut didukung dengan pemilihan ilustrasi musik yang tepat. Musik yang disajikan dapat memperkuat atmosfer film secara keseluruhan. Pada beberapa bagian, musik bahkan menjadi sangat dominan sehingga mampu menciptakan kesan tersendiri pada plot. Ambil contoh pada saat ibu Elia yang sudah uzur menggerakkan telapak kakinya naik turun mengikuti alunan musik yang memancar keluar dari pengeras suara. 
          
The Time that Remains merupakan gambaran yang menarik mengenai konflik Israel-Palestina dan kehidupan rakyat Palestina sebagai minoritas. Layak disandangkan dengan Paradise Now, meski kedua film menggunakan pendekatan yang cukup berbeda. The Time that Remains juga sedikit banyak mengingatkan saya pada Life is Beautiful, mampu menggugah sisi kemanusiaan tanpa harus terkesan terlalu menceramahi. Film yang berhasil memadukan politik, humor, dan humanisme dengan kadar yang pas.


Silakan dapatkan filmnya di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar