Suatu hari saya dianjurkan oleh Dhery Moelz untuk menonton
sebuah film ketika sedang berbalas sahutan dengan beliau lewat Twitter. Film yang
dimaksud adalah The Time that Remains, sebuah drama semi-biografi tentang
seorang sutradara Palestina bernama Elia Suleiman. Sebelumnya saya belum pernah
mendengar nama sutradara yang satu ini. Pun saya belum pernah mendengar judul
film yang dianjurkan oleh Dhery. Setelah mengunjungi laman IMDb film yang
dimaksud, saya merasa tertarik lalu segera mencari film tersebut di lapak
langganan. Di antara kesibukan dengan urusan duniawi beberapa hari ini,
akhirnya tadi siang saya berkesempatan untuk menonton film yang ternyata, di
luar dugaan, sungguh indah dan menyenangkan.
The Time that Remains dimulai dengan mengambil latar
kehidupan rakyat Palestina pada tahun 1948, tahun di mana negara Israel
terbentuk. Jadi tak salah memang bila IMDb kemudian memasukkan film ini ke
dalam genre history atau sejarah. Cerita berfokus pada seorang pemuda bernama
Fuad yang tergabung dalam gerakan perlawanan rakyat Palestina terhadap
pendudukan militer Israel. Paruh kedua film menceritakan tentang Fuad yang
sudah berkeluarga, memiliki seorang istri dan seorang anak laki-laki bernama Elia
(sang sutradara). Pada bagian ini dipaparkan kehidupan keluarga Fuad sebagai
golongan minoritas (rakyat Palestina yang memilih tetap tinggal di wilayah
kekuasaan Israel). Pada paruh ketiga diceritakan Elia yang sudah tumbuh dewasa
menjadi seorang pemuda tampan yang pendiam. Pada paruh keempat diceritakan Fuad
akhirnya meninggal dunia, meninggalkan istrinya yang sudah berusia lanjut dan
Elia yang sudah cukup berumur. Kira-kira seperti itulah plot yang diangkat di
The Time that Remains.
Sekilas, plot film ini terkesan ‘berat’. Sejarah konflik
Israel-Palestina. Yang terbayang di benak pastilah korban yang berjatuhan,
adegan-adegan menyedihkan yang menyayat hati, serta propaganda politik yang
kental. Namun yang disajikan di layar sungguh mengejutkan. Elia memaparkan plot
yang ‘berat’ ini dengan menggunakan pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang
lebih personal dan humanis. Tentu saja Elia masih menyelipkan agenda politis
pada beberapa bagian film. Ini film tentang Israel-Palestina, bagaimana mungkin
tidak politis. Menariknya, Elia memasukkan unsur politik dengan cara yang
sangat halus dan cerdas, tidak menghakimi, tidak terkesan meminta belas kasihan, dan dikawinsilangkan dengan unsur
humor yang cukup efektif. Dalam pandangan saya, Elia seperti berusaha untuk melihat sejarah
kelam ini sebagai suatu pengalaman yang ‘pantas’ untuk ditertawakan. Bahwa selalu
ada hal-hal yang menggelitik bahkan dari peristiwa yang paling mengerikan
sekalipun. The Time that Remains mungkin bisa dianggap sebagai usaha Elia untuk
menggambarkan konflik Israel-Palestina pada penonton awam (seperti saya) yang
mungkin tidak tahu atau kurang paham mengenai subjek ini. Dengan pendekatan
yang lebih personal, emosi yang kuat, serta memasukkan gaya bertutur yang
komikal, usaha Elia sepertinya tidak sia-sia.
Ada banyak sekali bagian dari film ini yang membuat saya
tertawa, lalu terdiam beberapa saat, lalu tersadar tentang betapa getir potret
sesungguhnya dari kejadian-kejadian yang Elia angkat, terutama pada paruh pertama,
kedua, serta keempat film ini. Pada satu bagian di paruh kedua, ditampilkan
satu karakter yaitu seorang laki-laki tua yang menjadi tetangga Fuad. Laki-laki
tua ini sudah seperti kehilangan akal sehatnya, tenggelam dalam konsumsi
alkohol yang berlebihan, akibat kondisi yang terbentuk dari konflik. Laki-laki
tua ini memiliki kebiasaan menyiramkan bensin ke sekujur tubuhnya dengan tujuan
untuk membakar dirinya sendiri. Fuad juga punya kebiasaan yaitu mencegah
laki-laki tua ini untuk menuntaskan niatnya. Adegan ini ditampilkan beberapa
kali seakan-akan sudah menjadi bagian yang lumrah dari keseharian keluarga
Fuad. Lalu ada juga suatu ilustrasi menarik yang ditampilkan di paruh keempat. Di
bagian ini, sebuah tank Israel terparkir tepat di depan sebuah rumah. Lalu
pemilik rumah keluar dari pintu depan dan melangkah menyeberangi jalan untuk
membuang sampah ke tempat sampah. Gerakan si pemilik rumah ditimpali dengan
gerakan laras tank yang bergerak perlahan mengikuti gerakan sang pemilik rumah.
Pemilik rumah menyeberang jalan lagi untuk kembali ke rumahnya. Laras tank ikut
bergerak. Pemilik rumah menerima panggilan dari telepon genggamnya lalu
berbalik melangkah ke tengah jalan. Laras tank lagi-lagi ikut bergerak. Sangat komikal.
Tapi seperti yang sudah saya sampaikan di atas, dibalik semua kelucuan ini,
Elia tetap berusaha untuk menyampaikan sesuatu pada penonton.
Dari segi teknis, film ini juga nyaris sempurna. Komposisi gambar
yang diciptakan serta pemilihan sudut pengambilan gambar dan framing
menciptakan adegan-adegan puitis yang juga terkadang terkesan agak sureal. Emosi
yang kuat bisa terasa di beberapa adegan tanpa kehadiran dialog sekalipun. Hal ini
ikut didukung dengan pemilihan ilustrasi musik yang tepat. Musik yang disajikan
dapat memperkuat atmosfer film secara keseluruhan. Pada beberapa bagian, musik
bahkan menjadi sangat dominan sehingga mampu menciptakan kesan tersendiri pada
plot. Ambil contoh pada saat ibu Elia yang sudah uzur menggerakkan telapak kakinya naik turun mengikuti alunan musik yang memancar keluar dari pengeras suara.
The Time that Remains merupakan gambaran yang menarik
mengenai konflik Israel-Palestina dan kehidupan rakyat Palestina sebagai
minoritas. Layak disandangkan dengan Paradise Now, meski kedua film menggunakan
pendekatan yang cukup berbeda. The Time that Remains juga sedikit banyak
mengingatkan saya pada Life is Beautiful, mampu menggugah sisi kemanusiaan tanpa
harus terkesan terlalu menceramahi. Film yang berhasil memadukan politik, humor, dan humanisme dengan kadar yang pas.
Silakan dapatkan filmnya di sini.