Hai. Halo. Jumpa lagi di blog ini yang akan memberikan
rekomendasi singkat mengenai film-film apa saja yang sebaiknya anda tonton agar
supaya dst dst. Yauda gitu aja basa-basinya.
Kali ini saya akan kembali menghadirkan rekomendasi tontonan
bersifat tematik. Mengingat bulan Februari identik dengan cinta, maka kali ini
saya akan menghadirkan rekomendasi film-film apa saja yang bisa anda tonton
saat merayakan Hari Kasih Sayang. Atau bila anda tidak merayakan, setidaknya
film-film berikut (mungkin) bisa membantu anda kembali memahami makna cinta
yang sebenarnya. Ya. Terdengar terlalu berlebihan memang. Tapi yauda gpp.
Baiklah, tanpa berlama-lama lagi, inilah 7 film yang mungkin
cocok untuk menemani anda di bulan penuh cinta ini.
Oya, malah lupa, kan. Karena tulisan kali ini cukup spesial
dan berbeda dengan tulisan rekomendasi regular di blog ini (yang sebenernya nga
regular regular amat), maka saya memutuskan untuk mengajak beberapa teman yang
kebetulan saya kenal untuk memberikan rekomendasi mereka tentang film apa yang
mereka anggap cocok untuk ditonton ketika merayakan Hari Kasih Sayang. Saya
juga meminta mereka untuk menulis sepatah dua patah kata mengenai alasan mengapa
mereka memilih film tersebut. Kesan mereka terhadap film yang mereka pilih
kemudian saya kutip dengan izin dari yang bersangkutan untuk saya tampilkan di
tulisan kali ini. Jadi, di tulisan kali ini, semua rekomendasi berasal dari
teman-teman sementara saya untuk sementara tidak akan memberikan rekomendasi. Tugas
saya kali ini hanyalah memberikan ulasan singkat mengenai film-film yang telah
dipilih oleh teman-teman tersebut.
Dari ketujuh judul yang direkomendasikan, 3 judul belum
pernah saya lihat sama sekali. Sementara 4 judul terpaksa saya tonton ulang
dengan suka rela (terpaksa tapi suka rela ini gimana maksudnya hadeeehhh~) untuk
menyegarkan ingatan agar saya dapat menuliskan ulasan singkat mengenai
film-film tersebut di tulisan kali ini.
Yauda. Tanpa berlama-lama lagi, inilah~
1.
Warrior (2011)
Film pertama dalam daftar ini direkomendasikan oleh
seseorang yang meminta untuk tidak disebutkan identitasnya di tulisan ini. Dengan
berat hati, saya menyetujui permintaan beliau. Untuk memudahkan, kita sebut
saja sosok ini dengan nama Patricia (hhe hhe hhe). Ketika saya meminta
rekomendasi mengenai film apa yang menurut beliau cocok untuk ditonton ketika
merayakan hari kasih sayang, Patricia memilih Warrior, sebuah film drama
olahraga yang mengangkat kisah dua orang petarung MMA (Mixed Martial Arts).
Waktu itu saya agak sangsi dengan pilihan beliau. “Valentine masak nonton orang
berantem??? Valentine yha roman mufi lah,” kata saya waktu itu. Namun Patricia
memberikan pembelaannya, “There’s so much love in this movie.”
Sebenarnya saya sudah lama mengetahui film ini namun saya
selalu merasa enggan untuk menontonnya karena, jujur saja, saya tidak terlalu
tertarik. “Ah, paling juga cuma drama tarung biasa,” pikir saya waktu itu. Namun
ketika Patricia saya hubungi dan saya tanyakan mengapa film ini cocok untuk
ditonton ketika merayakan Hari Kasih Sayang, beliau memberikan jawaban yang
cukup menarik. “Nah, di warrior itu, cinta-cintaannya sama istri, suami,
keluarga, teman. Sumpah, aku belajar lebih dalem soal definisi ‘cinta’ ya di
situ,” kata beliau.
Baiklah. Let’s give it a try, kata saya akhirnya.
Warrior memiliki plot dengan fokus utama dua orang
bersaudara. Keduanya merupakan petarung MMA. Namun, keduanya digambarkan memiliki
sifat serta latar belakang yang cukup jauh berbeda. Pertama ada Tommy Conlon. Film
dibuka dengan Tommy yang pulang ke rumah bapaknya setelah tragedi menyedihkan
yang terjadi di masa lalu. Kepulangan si anak hilang ini mampu membuka film ini
dengan sangat baik. Bergelut dengan kecanduan alkohol dan obat-obatan serta
upayanya untuk berdamai dengan masa lalu, Tommy bertekad untuk mengikuti
kejuaraan MMA dan meminta bapaknya untuk melatihnya.
Lalu ada Brendan Conlon. Saudara kandung Tommy ini memiliki
jalan hidup yang berbeda. Brendan adalah family
man. Punya istri dan anak-anak yang disayanginya. Brendan berprofesi
sebagai guru fisika di sebuah sekolah. Murid-muridnya menyukainya. Sekilas
kehidupan Brendan terlihat sempurna. Namun ketika Brendan dihadapkan dengan
kondisi butuh dana segar, Brendan terpaksa mempertaruhkan kehidupan dan
keluarganya di atas ring.
Secara garis besar, plot Warrior sebenarnya tidak
menghadirkan sesuatu yang baru. Cenderung terkesan sangat klise malah. Petarung
dengan masa lalu suram yang terjerat alkohol dan ingin kembali ke “jalan yang
benar” atau petarung yang terpaksa naik kembali ke atas ring atas dasar
kebutuhan akan uang untuk mempertahankan keutuhan keluarganya, plot-plot
seperti ini sudah tidak asing lagi di ranah film bergenre sport drama dengan tema olahraga tinju atau sejenisnya. Meski
plotnya cukup klise, Warrior bisa digarap dengan sangat baik dan tidak terkesan
murahan. Production value film ini
juga cukup layak diperhitungkan. Pengembangan plot, yang meskipun terkesan agak
mudah ditebak, tetap dapat meninggalkan kesan yang mendalam.
Dari segi teknis, Warrior juga cukup layak diapresiasi.
Sinematografi digarap dengan gaya semi dokumenter, dengan banyak menggunakan
pergerakan kamera bergaya handheld. Sinematografi
yang seperti ini juga mampu membangun koneksi yang lebih intim dengan penonton.
Pada beberapa bagian, gambar sengaja ditampilkan dengan kadar grain yang cukup tinggi, menambah kesan gritty pada plot. Koreografi pada scene pertarungan juga digarap dengan
seksama, menghadirkan sensasi yang nyata dan dapat dipercaya secara baik.
“To me, love is forgiveness. The movie taught me to forgive.
Because it’s the hardest thing to do. Orang-orang yang ribut mulu harusnya
belajar saling memafkan saja,” kata Patricia tentang film ini.
Dan saya sependapat dengan beliau.
Warrior tidak cuma mengenai usaha seseorang untuk
membuktikan kapasitasnya namun lebih jauh lagi, Warrior adalah tentang hubungan
antara dua orang bersaudara, hubungan antara seorang bapak dengan anak-anaknya,
dan hubungan antara seorang suami dengan istrinya.
Film ini bisa anda dapatkan di sini.
2.
Blue Valentine (2010)
Siapa yang tak kenal Dea Anugrah? (jawabannya: banyak, bg~)
Penulis muda berbakat kelahiran Bhutan yang telah menelurkan
beberapa karya sastra fenomenal ini (favorit saya adalah Panduan Budidaya Ikan
Patin dengan Menggunakan Media Tanam Sabut Kelapa) sontak menjawab “In the Mood
for Love (2000)” ketika saya tanyakan mengenai film apa yang kira-kira akan dia
rekomendasikan sebagai tontonan di Hari Kasih Sayang. Namun sejurus kemudian,
dia berkata, “Hmmm… Tapi Blue Valentine ku juga suka sih…”
Oke. Jadi intinya Dea merekomendasikan dua judul film. Tapi
tentu yang akan saya bahas terpaksa hanya satu judul saja. Dan saya memilih
Blue Valentine. Pilihan ini saya buat mengingat In the Mood for Love (saya
anggap) sudah terlalu sering dibahas dan dimasukkan ke dalam berbagai daftar
film rekomendasi di berbagai media yang mengulas tentang film. (bahkan bila ada
artikel berjudul “7 Film yang Bisa Membuat Tanaman Hias Anda Layu Seketika”,
saya yakin In the Mood for Love adalah salah satu film yang akan mengisi daftar
di artikel tersebut.)
Dari judulnya saja, anda tentu bisa menebak bahwa Blue
Valentine adalah film yang mengangkat kisah percintaan. Jadi tidaklah salah
bila film ini anda jadikan pilihan tontonan saat Hari Kasih Sayang. Masalahnya,
kisah cinta macam apa yang ditampilkan di film ini?
Kalau menurut Dea, “Film (bergenre) romance yang bagus
adalah (film) yang mampu menunjukkan bahwa cinta mustahil bekerja dengan benar,
alias, yang dianggap ideal oleh umat manusia. Sebab, kenyataannya, cinta adalah
a fuckin’ blind uncontrollable force without purpose (selain, mungkin, membuat
hidup kita miserable~)
Blue Valentine ditunggangi oleh dua karakter utama, Dean dan
Cindy, yang merupakan pasangan suami istri yang sudah memiliki seorang anak
perempuan yang masih kecil. Keseluruhan plot film ini bisa digambarkan sebagai cerita
mengenai pasang surut kehidupan rumah tangga Dean dan Cindy. Sangat sederhana
dan tidak ada yang terlalu istimewa, sebenarnya. Hanya tentang pasangan suami
istri yang kebetulan sedang mengalami prahara rumah tangga. Menariknya, plot
ditampilkan dengan gaya maju mundur, berpindah-pindah dari masa sekarang ke
masa lalu ke masa sekarang ke masa lalu demikian seterusnya. Jurus seperti ini
sangat efektif untuk menegaskan kesan “Kok kita bisa sampe kayak gini, sih?
What happened to us?” pada hubungan Dean dan Cindy.
Beberapa bagian film ini akan terkesan sangat manis dan
hangat. Sementara, beberapa bagian lain akan terasa sangat gelap dan dingin.
Hebatnya, peralihan mood ini bisa disajikan dengan sangat halus. Perasaan anda
akan sangat diaduk-aduk oleh film ini. Hasilnya, rasa hampa dan getir yang
mungkin akan membekas cukup dalam ketika closing
credit bergulir di layar.
Saya sepakat dengan Dea. Film ini adalah drama romance yang
bagus. Bahwa cinta bukan sekadar kata-kata indah dst dst. Bahwa terkadang, kita
terpaksa menyerah pada kekuatan yang membabi buta yang (mungkin) bisa saja
membuat hidup kita menderita. Bahwa sometimes, your dream-comes-true can turn
into your darkest nightmare. But that’s love. Suka ataupun tidak.
Film ini bisa anda dapatkan di sini.
3.
Last Life in the Universe (2003)
Ketika saya bertanya pada Sabda Armandio mengenai film apa
yang sekiranya cocok untuk ditonton ketika Hari Kasih Sayang, beliau malah
membalas dengan pertanyaan berbunyi, “Hmmm, maaf, anda siapa yha?”
Pemuda yang satu ini sudah terkenal akan reputasinya sebagai
salah satu detektif partikelir andalan Kota Hujan. Kendati berprofesi sebagai
detektif partikelir, Dio, begitu beliau biasa disapa, masih sempat menyisihkan
waktu untuk menjalani hobinya mengambil foto sampah di sepanjang perjalan
pulang dari kantor. Sehabis melontarkan pertanyaan di atas, beliau tidak
langsung memberikan jawaban mengenai film apa yang menurut beliau cocok untuk
ditonton di kala Hari Kasih Sayang. Dio malah mengajak saya mengobrol tentang
daur ulang sampah plastik, jual beli batu nisan dengan metode barter, dan ke
mana perginya lintah ketika jembatan penyeberangan dibangun.
Beberapa hari kemudian, Dio baru memberikan jawabannya.
“Film rekomendasi Valentine (versi saya adalah) Last Life in the Universe,”
demikian kata beliau. Mengenai alasan mengapa beliau memilih film ini, Dio
menambahkan, “Jadi anda dan pasangan anda mengerti bagaimana semestinya kelian
hidup di dunia yang suda terlalu penuh yaitu dengan (cara)
yha-uda-gini-juga-ga-buruk-buruk-amat~ Christopher Doyle (DoP film ini) dengan
gayanya yang khas berhasil mengambil gambar-gambar ena sekaligus memberi kesan
bahwa tida ada kemarin dan esok, seola waktu di dalam movie tida menuju ke
mana-mana, sepertinya muda-mudi kasmaran akrab dengan hal demikian~”
Last Life in the Universe mengambil latar Kota Bangkok.
Cerita berkutat seputar hubungan antara seorang pria Jepang bernama Kenji
dengan seorang perempuan Thailand bernama Noi. Kenji bekerja di perpustakaan
sebagai librarian, sementara Noi adalah
seorang perempuan yang doyan menghisap ganja. Karakter keduanya sungguh
bertolak belakang. Kenji adalah sosok pendiam dan cenderung kikuk dengan masa
lalu penuh misteri. Sedangkan Noi adalah perempuan yang digambarkan memiliki
sifat pemalas, urakan, dan sedikit meledak-ledak. Keduanya dipertemukan oleh
suatu kejadian tragis yang ‘memaksa’ mereka menghabiskan hari demi hari
bersama-sama hingga akhirnya terjalin suatu hubungan asmara yang tidak hanya
unik namun juga terkesan cukup sureal. Seorang pria yang (kelihatannya)
lurus-lurus saja bertemu dengan seorang perempuan yang melompat-lompat. Yha~
Bila Blue Valentine cenderung bernuansa tragis dan kelam,
Last Life in the Universe memunculkan nuansa mundane, suram, dan melankolis yang cukup kuat. Seperti yang
dikatakan Dio, “tidak ada kemarin dan esok dan waktu tidak menuju ke
mana-mana”. Sekilas terkesan membosankan memang. Namun justru pada kebosanan
itulah film ini menemukan nyawanya, menghadirkan kisah cinta yang boleh
dibilang puitis namun juga unreal pada
waktu yang bersamaan.
Film ini terkesan ‘sepi’. Seolah memberi kesempatan pada
penonton untuk merenungkan setiap potongan gambar yang disajikan dan setiap keping
dialog yang diucapkan oleh karakter-karakter di dalamnya. Beberapa scene
ditampilkan dengan gaya yang sungguh sederhana namun justru mampu menorehkan impresi
yang kuat. Pada scene lain, visual efek digunakan secara tepat untuk
menggambarkan ledakan emosi yang dialami oleh kedua karakter utama.
Seperti yang dikatakan Dio, film ini cocok untuk muda-mudi
kasmaran yang sedang menghabiskan waktu bersama, menghisap rokok sembari
berbaring di tepi kasur yang tergelar di atas lantai, membaca majalah, menatap
langir-langit kamar, saling berdiam diri, namun ramai pada waktu yang
bersamaan. Karena waktu telah berhenti dan muda-mudi itu tak akan ke mana-mana.
Anda bisa mendapatkan film ini di sini.
Saya bertemu dengan Fifa Chazali sewaktu beliau sedang asik
memilih oyong di pasar gelap tempat berlangsungnya jual beli organ tubuh ilegal.
Saya dekati beliau dan pura-pura ikut memilih oyong. Lalu saya lontarkan
pertanyaan iseng, “Mba, film yang cocok buat ditonton pas Valentine apa yha
kira-kira?”
Di luar dugaan, Fifa memukul saya dengan sebuah oyong
sembari berujar, “Dasar tida sopan! Huh!” lalu pergi meninggalkan saya yang
masih berdiri terpaku dengan mulut menganga.
Tepat 73 tahun kemudian, saya mendapat pesan singkat yang
dikirimkan Fifa lewat fitur DM di Twitter. “Film yang cocok buat Valentine itu
Fired Up!, Don,” katanya. “Gua sih selalu suka muvi yang ada high school
spiritnya. Mau horror, roman, atau komedi, semua ketebak. Dari She’s All That,
Clueless, The Faculty, Sister Act, ampe yang kaya Detachment pun, ada rasa
familiar kalo diikutin. Ga usah mikir, tinggal tonton aja. Kalo mau mikir yang
berat kaya utang di real life aja. Anyeng. Gitu. Lagian pas muda orang pada
bego dan naïf. Buat bahan ketawaan. (Kaya sendirinya ga ada dosa),” demikian
tambah beliau. “Gitu, bang… cocok buat Valentine. Hari yang selalu datang, tapi
ga pernah wa tunggu. Ga guna bangsat. Valentine ga guna, kaya Fired Up!,”
tambahnya lagi.
Hmmm~ Fifa ini memang cocok menjalani profesi sebagai guru
TK, pikir saya setelah mendengarkan penjabaran beliau.
Dulu, sewaktu saya masih bekerja sebagai penjaga rental DVD,
saya sebenarnya pernah mendapat akses ke film yang dimaksud oleh Fifa. Tapi
waktu itu saya tidak terlalu tertarik dan melewatkan film itu begitu saja.
Sekarang, sehabis direkomendasikan oleh Fifa, saya akhirnya mencoba untuk
menonton film ini. Dan hasilnya~
Fired Up!, seperti juga film-film komedi rermaja berlatar
belakang high school pada umumnya,
telah memiliki semua aspek utama yang dibutuhkan untuk menjadikan film ini
sebagai tontonan yang menghibur. Dua tokoh utama di film ini, Shawn dan Nick
adalah pelajar high school yang juga merupakan
anggota tim football sekolah. Shawn
dan Nick tidak hanya memiliki reputasi sebagai atlet football andalan tim namun juga dikenal di sekolah sebagai dua
orang laki-laki yang selalu memikirkan tentang, memakai istilah hitmansystem,
“ngehit” para gadis di sekolah. Mereka terkesan tidak pernah bisa serius,
menganggap semua hal sebagai lelucon, dan punya ribuan akal bulus. Yang ada di
kepala mereka hanyalah bagaimana caranya agar bisa bercinta dengan lebih banyak
siswi. Klise dan stereotype? Tentu
saja.
Singkat kata, didorong oleh nafsu bejat yang menggebu-gebu
serta semangat kawula muda yang menggelora, Shawn dan Nick memutuskan untuk
melewatkan kesempatan mengikuti camp
pelatihan football dan malah memilih
untuk mengikuti camp pleatihan cheerleader. Alasannya? Tentu saja untuk
mengejar gadis-gadis cheerleader.
Semua berjalan sesuai rencana. akal bulus kembali digunakan dan kata-kata manis
kembali dikeluarkan. Sampai akhirnya salah satu dari mereka benar-benar jatuh
cinta pada salah seorang anggota cheerleader.
Klise dan gampang ditebak namun tetap menyenangkan.
Fired Up! memiliki kualitas sebagai komedi remaja berbumbu
roman yang menjadikanya layak disejajarkan dengan American Pie. Humor yang
ditampilkan benar-benar syegar khas anak muda. Dialog-dialog yang nakal hadir sebagai
aksen yang diaplikasikan dengan tepat. Aspek romance juga digarap dengan baik dan tetap bernuansa cheesy, tentu saja. Ditambah lagi dengan
soundtrack yang berisi lagu-lagu hits kegemaran anak nongkrong MTV. Lengkap
dalam satu paket.
Bila anda merupakan individu yang bodoamat dengan Hari
Valentine seperti Fifa, film ini untuk anda. Atau anda ingin bernostalgia,
mengingat kembali hal-hal memalukan yang pernah anda lakukan semasa SMA? Film
ini untuk anda. Atau anda hanya sekadar ingin menghabiskan Hari Kasih Sayang
bersama pasangan anda, menonton di rumah sehabis menyantap makan malam,
bersama-sama menertawakan kekonyolan demi kekonyolan, lalu berakhir dengan
pelukan hangat dan sedikit ciuman? Film ini juga untuk anda.
Tidak ada salahnya sesekali menikmati hal-hal bodoh (yang
menghibur) karena pada dasarnya--- bgst lupa matiin kompor~
Anda bisa mendapatkan film ini di sini.
5.
Love & Other Drugs (2010)
Film berikutnya di daftar ini adalah Love & Other Drugs
yang dipilih oleh Amel. Awalnya, Amel merasa agak ragu dengan pilihannya
karena, mengutip apa yang disampaikannya lewat Whatsapp, “Aku sebenernya rada
minder sih… Soalnya (film ini) dari sisi rating ngga baguuus.”
Well, to be honest, dan ini sebenernya sudah lumayan sering
saya sampaikan, saya tidak terlalu peduli dengan rating. Dan menurut saya, film
pilihan Amel ini cukup bagus dan menarik untuk ukuran rom-com. Justru
sebenarnya sayalah yang merasa agak minder ketika harus mengulas film ini
karena Amel ini juga memiliki hobi menulis dan sering mengulas tentang film di
blognya. Mudah-mudahan ulasan saya mengenai film ini, setidaknya, tidak jelek
jelek amat bila dibandingkan dengan ulasan film yang sering ditulis oleh Amel.
Mengenai alasannya memilih film ini, Amel mengatakan bahwa,
“Film ini ‘menyentil’ banget buat aku, terutama tentang perspektif dalam
menjalani hubungan. Kalo pengen menjalani hubungan, apalagi hubungan yang
serius, ngga cukup cuma sekadar cinta aja, sekadar seneng-seneng, hubungan
seks, dll. Menurutku, (adalah) gampang untuk mencintai seseorang. Tapi nggak
semua bisa menerima kekurangan pasangannya, apalagi untuk ‘hidup bersama’
dengan kekurangan (yang dimiliki oleh) pasangan tersebut.”
Well said.
“Meski dari sisi storytelling (film ini) nggak bagus-bagus
amat dan masuk kategori erotic romance, pesan film ini bisa nyampe banget ke
aku,” tambah Amel.
Saya sudah pernah menonton film ini sebelumnya namun agak
sedikit lupa dengan beberapa detail hingga akhirnya saya memutuskan untuk
menonton ulang film ini.
Love & Other Drugs menyoroti sepak terjang seorang pria
bernama Jamie Randall yang berprofesi sebagai pharmaceutical sales representative untuk salah satu perusahaan
farmasi ternama. Jamie adalah seorang pria dengan pesona yang sangat kuat
hingga membuatnya bisa memikat para wanita dengan sangat mudah. Selain itu,
kemampuannya sebagai sales representative
juga cukup bagus. Di tengah pergulatannya dalam dunia penjualan produk farmasi,
Jamie bertemu dengan seorang wanita pengidap Parkinson bernama Maggie Murdock. Keduanya
kemudian menjalin hubungan. Hubungan yang awalnya cuma terkesan
bersenang-senang ini kemudian menjadi semakin intens dan mulai menghadirkan
konflik demi konflik yang harus dihadapi oleh mereka berdua.
Saya sepakat dengan Amel bahwa film ini tidak memiliki plot
atau storytelling yang terlalu
mengesankan. Plot dikembangkan dengan berpegang teguh pada berbagai klise yang
sudah sering muncul di beragam film bergenre rom-com. Isu yang diangkat oleh
film ini sebenernya cukup serius namun sayangnya harus dikemas dalam bingkai
rom-com yang terkesan cukup cheesy.
Kendati demikian, secara kesuluruhan, film ini cukup layak dijadikan pilihan
tontonan di Hari kasih Sayang. Ceritanya memang klise namun menurut saya cukup
digarap dengan baik.
Film ini tentang seorang pria yang menyia-nyiakan potensinya
untuk menjadi lebih baik. Film ini juga tentang seorang pria yang bertemu
dengan ‘lawan (jenis) yang sebanding’ yang akhirnya mampu mengubah jalan
hidupnya. film ini tentang mengatasi berbagai masalah yang mungkin muncul dalam
suatu hubungan. Porsi komedi ditampilkan dengan kadar yang cukup. Demikian juga
dengan bagian-bagian yang mungkin akan membuat anda merasa sedikit sedih atau
tersentuh. Akhirnya, seperti kata Amel, mencintai seseorang itu mudah. Namun
untuk bisa menerima kekurangannya, dibutuhkan lebih dari sekadar cinta. Mungkin
seperti itu.
Love & Other Drugs bisa anda dapatkan di sini.
6.
Liza, the Fox-Fairy (2015)
Sewaktu saya mendatangi kediamannya di Wasteland, Benji
sedang sibuk memilah-milah sampah yang berhasil dikumpulkannya hari itu. Benji
ini adalah salah seorang penikmat film yang cukup saya percaya kredibilitasnya.
Film-film yang pernah ditontonnya dan menurutnya berkesan biasanya kemudian akan
beliau ulas di blognya. Selain menyukai film, Benji juga saya kenal memiliki
ketertarikan terhadap dunia musik. Beliau juga memiliki hoby lain yang, demi
nama baiknya, terpaksa tidak bisa saya ungkapkan di sini (hoby yang satu ini
rumornya berkaitan erat dengan lightstick).
Ketika saya bertanya perihal film apa yang menurutnya cocok
untuk ditonton saat Hari Kasih Sayang nanti, Benji merekomendasikan sebuah film
romcom bernuansa fantasy asal
Hungaria. Film berjudul Liza, the Fox-Fairy ini dipilih oleh Benji karena, saya
mengutip ucapan beliau, “Sekalipun kita kesampingkan unsur-unsur ‘kekinian’
yang disertakan dengan jenial adanya, mulai dari terbuai belaian kapitalisme
hingga tips-tips bapuk a la para [self-proclaimed] pakar percintaan dalam
kisahnya, Liza, the Fox-Fairy tetaplah hiburan yang meriangkan (dan gelap),
entah itu untuk yang percaya bahwa si belahan jiwa suatu hari akan menampakkan
diri, maupun yang tidak~”
Sembari menunggu Benji selesai memilih barang-barang yang
menurutnya masih bisa dipakai dari tumpukan sampah di hadapannya, ada baiknya
saya ceritakan sedikit mengenai tentang apakah Liza, the Fox-Fairy ini
sebenarnya.
Tokoh utama dalam film ini adalah seorang perempuan bernama
Liza. Liza bekerja sebagai perawat di sebuah rumah besar yang dihuni oleh
seorang janda tua. Suami sang janda sudah lama meninggalkan dunia yang fana ini
dan sang janda tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya dikarenakan sakit yang
dideritanya. Pada ulang tahunnya yang ke-30, Liza pergi ke restoran burger
untuk menemukan cinta sejatinya. Sayangnya, bukan cinta sejati yang
ditemukannya melainkan kemalangan demi kemalangan yang datang silih berganti
setiap harinya. Namun Liza tak kunjung menyerah. Meski korban mulai berjatuhan,
Liza tetap bertekad untuk menemukan belahan jiwanya. Mampukah Liza meraih
mimpinya? Apakah dia akhirnya bisa bertemu dengan pangeran idamannya?
Jawabannya bisa anda temukan di film yang dikemas dengan cukup unik ini.
Secara visual, Liza sedikit banyak akan mengingatkan anda
pada karya-karya Wes Anderson, terutama pada penggunaan warna-warna pastel,
komposisi gambar yang simetris, serta tata artistik yang terkesan quirky. Di sisi lain, film ini juga
sedikit banyak mengingatkan saya pada karya-karya Jean-Pierre Jeunet, terutama
pada karakter utama berupa perempuan yang asik dengan pikirannya sendiri (Liza
sedikit banyak digambarkan memiliki karakter yang mirip dengan Amelie) dan
narasi yang terkesan agak whimsical.
Penggabungan unsur komedi gelap dengan roman berbumbu fantasy juga saya nilai merupakan langkah yang tepat dalam
menyajikan suatu kisah percintaan yang tidak hanya eksotis namun juga sangat
menyenangkan untuk diikuti.
Film ini juga menjadi sangat menarik karena ada begitu
banyak detail kecil yang muncul sebagai pemanis namun justru, pada saat yang
bersamaan, bisa memperkuat plot utama secara efektif. Ada beberapa isu serius
yang dituangkan ke dalam plot namun tidak terkesan membosankan karena
ditampilkan dengan gaya bersenang-senang.
Liza, the Fox-Fairy akan menjadi pilihan yang cocok bagi
anda yang sedang memimpikan untuk bertemu dengan belahan jiwa, pernah
memimpikan untuk bertemu dengan belahan jiwa, atau bahkan sudah menemukan
belahan jiwa namun masih suka bermimpi. Pada akhirnya, cinta adalah sesuatu
yang menungg---
“Bor, tolong ambilin kunci pas di laci bawah lemari,” ucap
Benji dengan suara berat.
Film ini bisa anda dapatkan di sini.
7.
Love
Exposure (2008)
Film terakhir dalam daftar ini direkomendasikan oleh salah
seorang movie blogger yang sudah tidak perlu lagi dipertanyakan kredibilitasnya.
Tommy Surya Pradana telah mengulas tentang film di blognya sejak era Muromachi.
Mengingat reputasinya tersebut, maka akan sangat salah bagi saya jika saya
tidak melibatkan beliau dalam proses pembuatan daftar ini.
Saat saya hubungi via DM Twitter untuk meminta rekomendasi
mengenai film apa yang menurut beliau cocok ditonton ketika Hari Valentine,
Tommy memilih sebuah judul yang cukup mengejutkan. Berikut saya kutip
pernyataan beliau waktu itu.
“Jika anda dan pasangan sama-sama orang yang sedikit bitter,
twisted, dan ga serius serius amat (apalagi dengan hal-hal yang berbau religi),
menghabiskan waktu seharian menonton Love Exposure (2008) dijamin akan
memperkuat rasa cinta kalian berdua dengan ide-ide yang asu dan romantik secara
bersamaan.”
Ini pilihan yang menurut saya sangat menarik dan cukup
berani. Sutradara Love Exposure adalah Sion Sono, salah satu sutradara Jepang
yang dikenal lewat karya-karya kontroversialnya seperti Cold Fish (2010),
Noriko’s Dinner Table (2005), Strange Circus (2005), dan Suicide Club (2001). Meski
sudah cukup sering menemukan Love Exposure diulas di berbagai tulisan, saya
belum pernah menonton film ini hingga saat ini. Setelah direkomendasikan oleh
Tommy, mau tidak mau saya harus menonton film ini agar dapat menuliskan ulasan
singkat untuk daftar kali ini.
Love Exposure mangangkat kisah kehidupan Yu Honda, seorang
remaja laki-laki yang kebetulan masih berstatus sebagai pelajar SMA. Ketika ibunya
meninggal sewaktu Yu masih anak-anak, ayah Yu memutuskan untuk menjadi pendeta
dan menyebarkan kasih sayang lewat khotbah-khotbahnya. Yu dan ayahnya hidup
dalam kedamaian hingga akhirnya pada suatu hari seorang wanita hadir dalam
kehidupan mereka dan mengubah semuanya. Sejak saat itu, sikap ayah Yu berubah
drastis. Setiap hari Yu dipaksa untuk mengaku dosa hingga akhirnya Yu bertekad
untuk berbuat dosa sebanyak mungkin. Dalam petualangannya mengumpulkan dosa, Yu
bertemu dengan seorang perempuan bernama Yoko. Yu menganggap Yoko sebagai figur
Maria yang ia cari selama ini. Apa yang terjadi berikutnya akan membuat anda
terkejut~
Seperti yang bisa anda lihat, premis Love Exposure cukup ‘nakal’
dan mungkin akan membuat beberapa orang tidak nyaman. Untungnya, dibandingkan
dengan judul-judul lain yang saya sebutkan di atas, film ini masih tergolong
cukup ‘sopan’. Namun tetap saja, bukan Sion Sono namanya jika tidak membumbui
plot dengan hal-hal bersifat kontroversial.
Plot yang sebenarnya cukup terkesan serius dan agak ‘sakit’
ini menjadi menyenangkan untuk diikuti karena dikombinasikan dengan unsur humor
absurd ala Jepang dalam porsi yang pas. Nuansa romantis dan tragis juga bisa
diracik dengan baik hingga berhasil menghadirkan suatu tontonan yang mungkin
bisa memberikan pengalaman menonton yang baru bagi anda.
Film ini menunjukkan bahwa ada kalanya cinta bisa mengubah
seseorang menjadi sesuatu yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bahwa
orang bisa saja melakukan apapun, literally
apapun, untuk mendapatkan so-called
cinta sejati. Saya sepakat dengan Tommy bahwa film ini cocok untuk anda yang
menyukai hal-hal beraroma bitter, twisted, dan humor absurd.
Silakan dapatkan filmnya di sini.
Selama ribuan tahun manusia berusaha mendefinisikan apa itu
cinta. Para penyair berusaha menggambarkan cinta lewat berbagai tulisan mengenai
mata yang bersinar layaknya kejora atau bibir yang merekah layaknya kuntum
bunga. Para musisi berusaha menjabarkan makna cinta lewat potongan demi potongan
lirik mengenai tangisan karena rindu atau keinginan untuk terbang bersama sang
kekasih dan menggapai mentari. Demikian juga halnya dengan para sineas yang
berusaha untuk mencari tahu apa arti cinta yang sesungguhnya lewat sajian audio
visual.
Namun pada akhirnya semua orang memiliki definisi
masing-masing mengenai cinta. Namun pada saat yang bersamaan, tidak ada yang benar-benar
mampu mendefinisikan apa cinta itu sebenarnya.
Ketujuh film yang saya rekomendasikan kali ini mungkin bisa
anda jadikan tontonan alternatif saat merayakan Hari Kasih Sayang kelak bersama
siapapun atau apapun yang anda sayangi, termasuk diri anda sendiri. Karena,
seperti kata Trent Reznor, “Love is not enough~”
Anda juga butuh makan~
Sekian dan terima kasih.