Sekitar seminggu yang lalu saya akhirnya berkesempatan
menonton Her, film terbaru garapan salah satu sutradara favorit saya selain
Fincher, Spike Jonze. Sesuai dugaan, film ini ternyata membekas cukup dalam dan
sedikit ‘meresahkan’ saya. Sebenarnya sudah banyak kabar yang saya dengar
berkaitan dengan film ini sebelumnya. Betapa saya harus menonton film ini
karena sangat bagus kata banyak orang. Tapi saya selalu menunda menonton film
ini. Selain karena malas dan belum mendapat momen yang pas, ada alasan lain
mengapa saya seolah-olah menghindari menonton film yang satu ini. Tapi akhirnya
toh mau tidak mau saya ‘terpaksa’ menonton Her. Karena tetap ada sedikit rasa
penasaran, tentu saja. Setelah menonton, gejolak untuk mereview film ini sangat
kuat. Seperti halnya review Frank, saya ingin menulis review dengan gaya yang
agak berbeda untuk Her. Lalu saya tiba-tiba saja mendapat ide, bagaimana bila
review kali ini saya mengajak orang lain untuk membahas film yang dimaksud.
Ide ini muncul karena tema Her adalah tentang ‘hubungan’
atau ‘relationship’. Her menceritakan hubungan ‘spesial’ antara Theodore,
seorang pria yang berada di ujung perceraian dengan sebuah OS (Operating
System) bernama Samantha. Singkatnya, saya ingin menulis review tentang Her di
mana dalam review tersebut saya bercakap-cakap dengan orang lain dan membahas
film ini. Hal ini saya lakukan untuk memperkuat gagasan Her tentang
relationship itu tadi. Ya intinya kira-kira seperti itu. Masalahnya, siapa yang
akan saya ajak untuk membahas film ini?
Akhirnya, seseorang mengajukan diri dan bersedia untuk
membahas film ini bersama saya. Beliau adalah Sabda Armandio Alif, seorang
(((penulis muda berbakat))) yang kebetulan juga sangat saya kagumi karena
keahlian berceritanya yang kadang-kadang sungguh di luar dugaan. Singkat kata,
pada 19 Agustus 2015, saya dan Dio akhirnya memutuskan untuk melakukan
percakapan via Whatsapp dalam rangka membahas Her. Berikut saya tampilkan
percakapan yang kami lakukan saat itu sebagai sarana untuk memberi sedikit
gambaran mengenai Her. Percakapan ini telah saya edit sedemikian rupa untuk
mengurangi potensi spoiler tanpa menghilangkan esensi dari obrolan kami ketika
membahas film ini. Selamat membaca.
Dio: Ini maksudnya gimana don? Mau curhat apa gimana?
Hahahaha [emot nangis]
Dony: Bera wqwq. Udah bikin kopi Io? Nga. Jadi gini. Her ini
kan film yang intinya tentang interaksi manusia di era informatika. Nah, untuk
memperkuat kesan itu, maka saya selaku penggugat yang kemudian akan disebut
sebagai pihak pertama
Dio: Lagi pesen kopi sepeda. Bera kwkwjwwkwkk
Dony: Mengajak saudara Dio untuk bersama sama… ya intinya
mah… shall we? [emot mata love love]
Dio: Yauda~ Iya bener
Dony: Jadi~ Apa ya pembukanya. Wqwq
Dio: Pembukanya intro wqwq. Bentar, bayar kopi dulu
Dony: Wa (saya – red.) tau film Her kan udah lumayan lama
yes. Hype nya lumayan kenceng pas rilis dan kata banyak orang bagus. Tapi wa
selalu nunda nonton karena ya udah tau lah ya. Nah, kita ngobrolin film ini
untuk apaan wa juga nga ngerti sebenernya wkwk. Sinopsis di skip aja yes. Io
cerita dong kenapa bisa tertarik buat nonton Her. Wkwk
Dio: Gua sendiri nonton film ni pertama kali tengah 2014,
kalau nga salah. Dengar dari cerita teman~ Nonton dan, yaudah… Wqwq ga ngira
akan dibuat gitu sih. Awalnya qupikir akan mengeksploitasi tema
(((eksistensialisme))) tapi ternyata lebi mengedepankan (((perasaan))) dan
asyik tuk diikuti~
Dony: Hahaha. Bener. Wa sepakat. Trus trus~
Dio: Suatu hubungan LDR yang terlalu LDR [emot nangis] Terus…
Apaan wqkwjqkqkqk. Semacam apa ya… Mengembalikan kata ‘move on’ ke tempatnya,
mungkin. Kita kan sering denger kata move on belakangan ini, dan aing (saya –
red.) sendiri suda tida lagi menemukan kesedihan di dalamnya. Hehe maksudnya,
mungkin karena suda terlalu sering digunakan sehingga…
Dony: Nah. Ok. Menurut lu sendiri, kira kira film ini apaka
suda bisa menjadi gambaran relationship masa kini?
Dio: Iya, kayaknya. Ini kurang lebih kan sama aja kayak LDR
yang ketemu di medsos ga pernah ketemu sama sekali dan cuma bercakap-cakap
lewat telepon? Apaka masdon… xixixi
Dony: Hahaha. Ya. Iya sih. Sekarang relationship ada
pengaruh dari medsos juga ya. “Jauh di mata dekat di medsos”. Wqwq. Wa juga
sempet tertarik ngebandingin hubungan Theodore dan Samantha sama hubungan H.A.L.
9000 dan Dr. Dave Bowman di 2001: A Space Odyssey. Ada tanggapan mungkin dari
lu?
Dio: Bentar sebats duls wqwq.
Dony: Haha
Dio: Oke jelas ada sih Don kayanya. Mungkin lebih ke ini
apa. Mulanya kita menciptakan alat untuk bertahan hidup, tapi kemudian kita
bergantung pada alat itu. Karena kita kan mudah terbiasa sama apa aja? Terus
kita membiasakan diri… Di Her, percakapannya ena betul…
Dony: Yha~
Dio: Gua kira Spike Jonze sangat bisa menguliahi penontonnya
perihal (((eksistensialisme))) tapi dia nggak melakukannya. Tapi ya itu tadi,
dia nggak melakukannya. Gua sendiri bukannya mikirin pertanyaan si element
software (yang suda kelewat sering kita dengar) gua jadi mikir gini setelah
nonton: mungkin seharusnya kita tumbuh dalam percakapan; dalam cerita-cerita
menarik yang dibagi atau apaan kek, bukan dari kekerasan.
Dony: NAH~ Hahaha
Dio: Menurut lu gimana?
Dony: Iya. Wa juga awalnya sempet mikir, ini film bakal
kejebak di ‘stereotip’ eksistensialism. Tapi ternyata Jonze mampu ngolah dari
sudut pandang beda. Perasaan. Itu yang bikin Her rada 'fresh' sih meski tetep ada
hint tentang hubungan manusia dengan AI tapi nga dibahas teknis atau
filsafatnya. Kayaknya yang dituju emang emosi sih ya.
Dio: Itu dia~ Jadi menarik karena Samantha dikasih intuisi.
Dia punya intuisi: gudang isinya kardus berantakan. Dari obrolannya dengan
Theodore lahirlah akal~ Dikasih fakta-fakta. Akal menata ulang kardus itu. Nah,
pas kardusnya udah rapi… Jeng jeng~ Samantha punya bayangan soal tubuh~
kenikmatan~ pas intuisinya mulai hanyut, akal ngehajar dia~ ditabok gitu wqwq:
kamu nga punya tubuh. Brutal~ [emot nangis]
Dony: Iya. Bera. Yang (scene) pas dia milih nama Samantha
itu menurut wa menarik. Jonze njelasin teknis Samantha milih nama dari beberapa opsi melalui
kemampuan search. Ini teknis. Tapi di waktu yang bersamaan, Jonze nunjukin
kemampuan Samantha buat (memutuskan) milih nama itu karena dia ‘menyukai’ nama
tersebut. Ini udah masuk ranah emosi. Dan itu ditampilkan di 1 scene.
Dio: Hhhh :’(
Dio: Soal tubuh ini… Lama lama bisa bahas Focault… Tubuh
adala sumber kenikmatan~ Bukan sumber dosa~ Eh gitu kan ya wkwkwkwk udah ah
lupain~
Dony: Pertanyaan besarnya kali ya klise ya: apaka AI bisa
memiliki perasaan.
Dio: Iya Don itu dia
Dony: Hahaha Focault
Dio: Gimana kalo kita manusia yang mengunggah pikiran kita
ke PC? Kita punya perasaan. Apa PC nya nanti jadi punya perasaan? Bisa merasa
kehilangan? Heheh
Dony: Nah, yang menarik, anggap saja jawabannya iya.
Ternyata, perasaan si AI ketika dikonfrontasikan dengan perasaan Theodore ujung
ujungnya tetep menimbulkan konflik. Jadi wa sempet berkesimpulan, meskipun
judulnya Her, film ini tentang Him sebenernya
Dio: Jadi?
Dony: Konfliknya sebenernya tentang Theodore yang mengalami ketidakmampuan
dalam menjalin hub emosional?
Dio: Iya wqwqwq tapi kan yang digambarin evolve itu si OS
nya sampe akhirnya sang OS menyerupai Theodore?
Dony: Nah.
Dio: Si Theodore sendiri ga banyak berubah. Kayaknya. She
and Him hahaha
Dony: Katakanlah si Samantha ini manusia lalu ketemu Theodore.
Lalu mereka melakukan interaksi yang sama. Apaka~ Hahaha bera
Dio: Iya. Tapi gimana ya. Kalo Samantha manusia, dia ga akan
senorak itu sih kayaknya. Dia udah lewatin banyak hal kan sampe (akhirnya) dia
gede. Eh tapi kalo hubungannya lewat telepon aja, kemungkinan iya Don. Mungkin
fokus hubungan Samantha dan Theodore itu adala kehadiran~
Dony: Tubuh itu tadi ya
Dio: Iya, apa ya, ada saat di mana percakapan aja ga cukup
karena memang manusia dibikin gitu. Dan sentuhan mengisinya… Tapi itu bukan
jaminan kalo mereka bisa bahagia kan? Suatu hari bisa bosen. Mungkin alasannya
akan sama kaya si istri Theodore? Kenapa Theodore ga diceritain single aja?
Kenapa dia harus dalam proses perceraian? Iya Don mungkin gitu.
Dony: Jadi nyambung ke ‘tubuh substitusional’ Samantha.
Dio: Pas si Samantha nyuruh temennya itu nemui Theodore,
ternyata kan percakapan aja ga cukup, Theodore tetap merasa asing dengan si cewe
sekalipun itu suara dan memori Samantha.
Dony: Mungkin perceraiannya buat memperkuat premis
ketidakmampuan Theodore itu tadi kali yha
Dio: Iya, dan kalo dibikin sequel Her 2 gitu. Apaqa~ Bera
sequel wqwqwq
Dony: Ya kayak lu bilang tadi. Move on. Memang awalnya Samantha
yang evolve. Tapi akhirnya si Theodore evolve juga (dengan caranya sendiri).
Segi teknis ntap lah ya warna pastel dan washed out. Set yang Apple-esque.
Score nya juga ntap.
Dio: Theodore memandang layar dan nanya: Di antara kita,
sebenarnya, ada apaaaaa~ aaaaaaa~ Iya warnanya ena dilihatque. Dan seharusnya
jadi alternative qisa percintaan kali ya. Bukan lagi soal remeh kaya beda
agama, tapi soal, kalo gua ga punya badan, lu tetep cinta eug nga. Apaan
qlqjqkqkqkqkqkqkwkwkwk. Tubuh Theodore mengikat Theodore di dunia nyata,
sementara Samantha bisa jalan ke mana aja. Tapi ternyata dua duanya bisa sedih
cuma karena persoalan sepele. Aing suka pas opening tuh ena ya. Krrrrt krrrrk
krrrrt.
Dony: Yha. Haha. Ntap. Oya, Io, soal profesi Theodore ini
juga menarik.
Dio: Si pembuat OS sadar betul, pekerja kaya Theodore butuh
rumah lain tempat mengikatkan diri~ Nah Iya hahahaha bera udah di masa depan
tapi orang merindukan tulisan tangan~
Dony: Menulis surat untuk orang lain. Jonze seolah olah
pengen bilang…
Dio: Pengen bilang… “mi rebus telor setengah mateng”
Dony: Hahahaha Jonze seolah olah pengen bilang “Ini orang
yang ngerti manusia, paham orang lain, tapi gagal memahami diri sendiri.” Yang
wa tangkep gitu.
Dio: Iya don, dari obrolan dia sama penjaga (FO tempat kerja
Theodore) itu siapa namanya yang suka sama suratnya? Tersirat demikian~
Dony: Buku kumpulan surat Theodore > buku kumpulan surat Kartini.
It’s just letters~
Dio: Hahahahahah. Sedih juga sebetulnya.
Dony: Sasaran film ini emang kaum urban kali ya. Makanya mungkin
banyak yang (bisa) related (nyambung).
Dio: Nah iya. Jadi gini, dulu pas eug (saya - red.)sering bolak balik
naik kereta sering kepikiran. Mereka dempet dempetan dalem gerbong, pagi
ngantuk sore cape. Dan di dalem gerbong ini jadi menarik karena itu tadi soal
rumah, mereka berusaha menyamankan diri di dalem gerbong. Di situ justru mereka
keliatan bebas, menurut eug.
Dony: Mantap~
Dio: (gerbong adalah) Tempat lari dari masalah kantor dan
masalah dapur~ wqwqwq
Dony: Kita semua mencari~
Dio: Dan si OS ini mungkin juga begitu, ngasih media ke
orang yang ga punya tempat buat itu hhhh. Mencari oksigen~
Dony: Escape~ Hahahaha
Dio: Bagian favorit u di film ini yang mana?
Dony: Banyak sih. Tapi yang paling suka yang Theodore merem dan
(bergerak) dipandu sama Samantha.
Dio: Apaqa ada pengala… xixixi
Dony: Hahahaha nga. OS menawarkan kenyamanan. Namun setela interaksi
berjalan Theodore justru merasa ‘ta nyaman’. Apaka yang namanya relationship
pada intinya adala tentang ketidanyamanan bukan justru tentang kenyamanan?
Wqwq. Pengalaman~ hahahaha
Dio: Gini Don, qu percaya kita tida bisa memahami orang lain
(dan orang lain) tida bisa betul betul memahami kita. Itu masalahnya. Di mana pun
mungkin kita akan menemukan celah yang bikin kita tida nyaman sebab… Kita…
Berjalan… Sendiri… Sekalipun lagi berdua. Hehe. Hahahaha.
Dony: ANJAY~ INI MAH BUAT CLOSING KUDUNYA NAMPAR BANGAT WQWQ
Dio: Apaqa mirip… Dengan… Theodore dan Samantha… Atau qmu
bocah yang berkata kasar (di game yang dimainkan oleh Theodore)… Apala
relationship kita cuma ego di dalam bungkus kulit. Bungkus (rokok) filter
dikasih nyawa juga bisa kaya orang wqwq
Dony: Indeed. Serupa dengan apa yang saya tangkap dari film
ini. Oya Io, satu lagi
Dio: Apaan :’(
Dio: Qmu mau mulai curhat? Uwuwuwuw :3
Dony: Hahaha nga. Apaka Her sedi karena Thedore ‘menyedihkan’
atau Her sedi karena kita dihadapkan pada gambaran relationship modern?
Dio: Wadu ini susa nih… sebat duls~
Dony: Atau kamu mungkin punya opini sendiri kenapa film ini
sedi? Roko wa abis wqwq
Dio: Jujur sahaja, di satu titik, aing seolah Theodore,
bukan dalam hal percintaan tetapi dalam gampang ga ngerti wqwq soal
relationship, eug ga perna merasa serepot itu sih, tapi jadi sedi karena di
luar sana ternyata ada yang begitu. Masalah modern lahir justru dari apa yang
kita bikin dan kita pikir bisa membantu kehidupan kita. Ironis betul~ Tetapi
cukup membuktikan kalau kita mungkin selamanya sedih karena kita ternyata
dikutuk dalam ketidak-tahuan yang panjang hhhhh wqwq. Itu cukup membual~ Kalo u
kenapa sedi Don? Sampe menunda nunda (menonton)… Selain yang u jelasin di
tweedter.
Dony: Karena kayak ngaca anjis surem. Asli. Wqwq
Dio: Hahahaha duh. Hmm
Dony: HAHAHA
Dio: Ngaca ke (karakter) Theodore atau ke hubungan Theodore
dan Samantha?
Dony: AING NGA BAKAL CURHAT FYI AJA NIH YA hahah
Dio: U perna punya pacar bersuara begitu???
Dony: Ke karakter Theodore nya sih
Dio: Hmm… Yauda~ wqwqwq nah nah
Dony: Sedikit banyak wa (ngerasa) kaya si Theodore. Ya itu
tadi kurang bisa ngehandle (hubungan) emosional.
Dio: Meminjam istilah penjaga (ditempat kerja Theodore) itu
“separuh wanita”? wqwq
Dony: Hahahaha. BERA BENER BANGET ITU
Dio: Tapi gini Don. Gitu aja… Hehe
Dony: (gitu) Gimana lah bera wqwq
Dio: Berkaca pada cinema. Ga gimana gimana~
Dony: Iya. Menyama nyamakan agar supaya. Hahaha
Dio: Apaqa qmu mudah larut seperti gula dalam kopi panas?
Apaan lagi ya soal film. Lah kita juga ini kaya Her Don
Dony: Hahaha ilusi kedekatan~
Dio: Tapi serius, tiap orang harusnya cemas sebab ternyata
selalu ada lapisan tipis antara dia dan orang lain. Beruntunglah qta bisa
ngegombal, seolah mencintai orang sedalam dalamnya, padahal tida perna sedalam
itu hhhh :’(
Dio: Apalagi ini antara dia dan benda mati… laif~
Dony: SUBHANALOVE DIO~ [emot nangis tiga kali]
Dio: Ngetiknya gemeteran ini [emot nangis empat kali]
Dony: Hahahaha
Dio: Hahaha ada lagi ga soal mengenai perihal nganu? Oh iya
bagian denting piano itu yang gubahan Samantha juga qusuka. Dia googling dulu
kali ya nyontek partitur. Wqwq
Dony: Anjis hahahaha. Nyiptain musik bera
Dio: Iya kan beraaaaaa
Dio: Tapi masuk akal sih, kan apa yang kita upload itu
anggaplah pengalaman atau memori kita. Nah Samantha ini cuma mengeluarkannya~
Ena ya jadi OS wqwqwq
Dony: Hahahaha. jadi OS. Ada OS dalam oshi. Wa juga suka
desain lift-nya yang ada siluet pohon pohon. Nuansa organic dalam tampilan
digital haha
Dony: Trus yang dia (Samantha) ketemu siapa itu yang udah
meninggal trus dijadiin OS
Dio: Meninggal dijadiin OS… Orang ga bisa mati. Sedi :’(
Dio: Akherat ternyata hanya sirkuit
Dony: Anjay~
Dio: Terapkan di Bangka Don…
Dony: Baiqla. Closing Io. Sebelum terlalu dalam~
Dio: Apaan terlalu dalam wqwqwq. Maaf ya kalau tida sesuai
hhhh :’(
Dony: Nga apa apa. Kalo mau mencari kesesuaian mah ke biro
joodoh. Sok Io. Closing. Kenapa film ini ‘penting’? Kenapa orang sebaiknya
menonton Her?
Dio: Apaqa punya pengalaman… Biro jodo???
Dony: LO MAH MANCING MANCING MULU DARI TADI HAHAHA
Dio: Kenapa ya? Hahaha buat berkaca pada cermin yang kotor~ Wqwqwq.
Ini ga penting penting amat sih. Tapi
Dony: Bera hahaha. Tapi?
Dio: Eh ini ada tapinya nih. Bentar nih mikir dulu.
Dony: Sampis wqwqwq (22:59)
Dony: Dio is typing (23:11)
Dio: Wqwqwq. Belom. Hhhh (23:11)
Dony: Hahaha. Yauda. Qu menunggu~
Dio: Theodore bisa nulis surat yang indah buat orang yang
belum pernah dia temui. Dia berhasil mewakili perasaan mereka, dan sesungguhnya
dia tahu, dia sedang melakukan kebohongan besar sebab dia sendiri terlibat
dalam konflik ta berkesudahan dengan dirinya. Tidakkah ini mengingatkanmu
dengan… Seseorang? Wqwqwq. Film ini ‘penting’ karena mungkin saja kita sudah
ada sejak lama di era Her: di mana kehadiran fisik seseorang penting sekali,
untuk merasakan (((cinta))). Dan cinta cuma ada di situ, di fisik. Kita sadar
ini. Tapi sialnya, kita bisa jatuh cinta kepada siapapun, bahkan kepada orang
yang cuma bisa kita temui di dunia maya. Seseorang yang jelas jelas nggak bisa
setiap hari mengelus rambutmu atau menyentuh tengkukmu atau bercinta denganmu.
Seberapa siap kita tidak lagi merisaukan sentuhan fisik atau jarak? Dan
mungkinkah kita bisa memahami orang yang tidak pernah kita temui sementara kita
yang ketemu diri kita tiap hari pun tetap nggak bisa memahami diri kita
sendiri? Dan kembali ke pertanyaan klise: emang cinta apaan sih~ Singkatnya~ Bodo
amat~ Gimana kalau ternyata cinta gak ada? Wqwqwq
Dony: Yha robb~ Ok. Ini tar wa publish di blog yes. Diedit
seperlunya demi menghindari spoiler tanpa mengurangi esensi~
Dio: Iyaaaa bebas~
Dio: Gitu aja sih Don semampu aing [emot nangis tiga kali]
Dio: Ga kuat juga nontonnya hehe. Males ngulang nonton lagi
wqwq.
Dony: Kami selaku panitia menyampaikan terimakasi yang
sedalam dalamnya lautan hindia~
Dio: Jadi kita bisa mulai sex by text…
Dony: Apaka ada pengalaman~
Dony: Xixixi~
Dio: Beraq wlqkwkqkqkqkqk
Dony: Mampus hahahaha
Dio: Ga sesurem situ kayanya uwuwuwuw
Dony: Bngst wqwq. Sex by text tar tar lah kita bikin lagu
bareng aja dulu. Yauda Io. Kalo mau moto sampah silakan… Kapan kapan kita ngobs
(ngobrol – red.) lagi
Dony: Bahas Hegel
Dony: [emot nangis lima kali]
Dio: Hahahaha. NGA.
Ya kira-kira seperti itulah percakapan yang kami lakukan
untuk membahas Her saat itu.
Her memang merupakan drama percintaan yang luar biasa. Premisnya
mungkin sedikit klise namun berhasil dikembangkan dengan sangat baik sehingga
tetap terasa unik dan segar. Dibandingkan dengan film Spike Jonze lainnya, Her
mungkin masih termasuk dalam kategori ‘mudah cerna’. Meski demikian, film ini
tak pelak lagi dapat memicu diskusi mengenai sejauh mana manusia bisa terlibat
secara emosional dengan ‘benda mati’. Apakah OS benar-benar bisa memiliki
perasaan? Apakah nilai interaksi antara manusia dengan OS sama dengan nilai
interaksi antara sesama manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin sudah cukup
sering kita dengar atau bahkan kita tanyakan sendiri. Dalam pandangan saya, Her
berhasil memberikan perspektif ‘baru’ dalam kaitannya dengan pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Her memunculkan kemungkinan yang bisa jadi luput dari perhatian
sebagian besar penikmat film genre sci-fi bertema hubungan manusia dengan mesin
atau komputer. Mudah-mudahan, obrolan ringan saya dengan Dio di atas bisa sedikit
memberi gambaran mengenai apa isi film ini sebenarnya.
Saya tidak menyesal akhirnya menonton Her.
Silakan dapatkan filmnya di sini.