Rabu, 30 Juli 2014

Blue Ruin

Sejauh mana kalian akan mengorbankan kehidupan kalian untuk melakukan suatu aksi balas dendam? Premis sederhana inilah yang diangkat dalam Blue Ruin, sebuah film indie bergenre thriller yang dikemas dengan begitu rapi dan mendetail. Tema balas dendam merupakan salah satu tema favorit saya dari genre thriller. Sebut saja Straw Dogs (1971) atau yang sedikit agak candy coated seperti I Spit on Your Grave (1978) dan The Last House on the Left (1972), yang kesemuanya telah pernah mengalami proses remake. Ada juga film-film Korea dengan tema yang sama yang cukup saya gemari seperti I Saw the Devil (2010) atau The Vengeance Trilogy (Sympathy for Mr. Vengeance/2002, Old Boy/2003, dan Sympathy for Lady Vengeance/2005) yang fenomenal itu. Film-film bertema balas dendam di atas sarat akan adegan kekerasan dan dikemas dengan gaya yang cukup brutal. Tidak demikian halnya dengan Blue Ruin.
Tokoh utama dalam Blue Ruin adalah seorang pria bernama Dwight. Dwight digambarkan sebagai seorang pria dengan karakter yang pendiam. Sangat tenang dan cenderung terkesan lemah. Bahkan menjurus loser. Semacam penjaga kasir yang hanya akan menunduk diam sambil berkali-kali meminta maaf ketika mendapat komplain dari pembeli. Ekspresi wajah, gestur, serta gaya bicara Dwight semakin memperkuat kesan bahwa Dwight adalah seorang pria yang tak akan mampu menyakiti bahkan seekor nyamuk sekalipun.
Dwight hidup layaknya gelandangan dalam mobil Pontiac biru bututnya selepas kematian kedua orang tuanya yang dibunuh oleh Wade Cleland. Namun gaya hidup nomaden ini mendadak berubah ketika Dwight mendapat kabar bahwa Wade akan dibebaskan dari penjara. Dwight segera menyusun rencana untuk membalaskan dendamnya. Niatnya berhasil. Wade mati di tangannya dengan cara yang cukup brutal, tidak beberapa lama setelah pria itu menghirup udara bebas.
Selepas membunuh Wade, Dwight segera mengunjungi saudara perempuannya, Sam, dan menceritakan apa yang baru saja dilakukanya. Sampai pada satu titik, Dwight akhirnya menyadari bahwa nyawa Sam serta kedua anaknya mungkin akan terancam karena keluarga Cleland mungkin akan memburu mereka. Dwight pun meminta Sam agar membawa kedua anaknya mengungsi untuk sementara dan menempati rumah Sam untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan buruk yang mungkin bisa terjadi. 
Sampai di sini, dimulailah permainan kucing dan tikus antara Dwight dan keluarga Cleland. Hingga pada puncaknya, Dwight harus menerima kenyataan pahit tentang apa yang sesungguhnya terjadi, kenyataan di balik terbunuhnya kedua orang tuanya dan hubungan antara kejadian tersebut dengan keluarga Cleland. 
Blue Ruin bukanlah film bertema balas dendam biasa. Ada faktor kejutan yang cukup membawa pengaruh besar ke dalam plot cerita. Alur film yang cenderung lambat dan tenang bukan merupakan suatu hambatan dalam pengembangan cerita yang cukup menegangkan pada beberapa bagian. Adegan kekerasan memang muncul pada beberapa bagian film. Namun itu bukanlah jualan utama film ini. Film ini lebih berfokus pada nuansa dingin serta desperate sang aktor utama dalam menuntaskan apa yang telah dimulainya. 
Kredit terbesar pantas disematkan pada Macon Blair yang memerankan karakter Dwight. Akting Blair merupakan tamparan keras terhadap beberapa "aktor ternama" Hollywood dengan kemampuan akting medioker. Sekilas, mungkin kalian bisa membandingkan karakter Dwight dengan karakter pengemudi di Drive. Sama-sama jarang berbicara. Bedanya, pengemudi di Drive terkesan 'cool' dan keren, sementara Dwight terkesan menyedihkan. Namun justru kesan menyedihkan itu yang semakin memperkuat plot serta nuansa dalam film ini. 
Sinematografi film ini pun mampu berbicara lantang. Dengan budget yang tergolong kecil, sang sutradara, Jeremy Saulnier, mampu menciptakan rangkaian gambar serta spesial efek (hanya ada sedikit spesial efek yang digunakan dalam film ini) yang sungguh memukau. The man behind the gun, indeed. Ditambah lagi dengan ilustrasi musik yang mampu membangun intensitas cerita secara keseluruhan. Secara teknis, Blue Ruin nyaris tanpa cela.
Kekuatan lain dari film ini adalah detail. Bagaimana gambar mampu berbicara lebih banyak dibandingkan dialog. Hal ini turut didukung dengan pergerakan kamera serta sudut pengambilan gambar yang penuh perhitungan. Sedikit terkesan artistik. Namun tetap sesuai kebutuhan dan mampu memaparkan plot secara baik.
Overall, Blue Ruin adalah film thriller yang sangat pantas untuk disimak. Terbukti bahwa untuk membangun ketegangan, tidak perlu terlalu sering menciptakan rangkaian adegan yang melelahkan. Bahkan ketegangan bisa dibangun lewat hal-hal bernuansa 'tenang' sekalipun. Silakan dapatkan filmnya di sini.